Entri Populer

Kamis, 30 Oktober 2008

kejahatan dunia maya

Kemajuan teknologi yang menawarkan komunikasi dua arah dengan kecepatan dan daya jangkau lintas Negara, bahkan lintas Benua yang kemudian menjadi awal dicetuskannya “era’ yang disebut “globalisasi” yang ditandai dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas dan penghapusan bea impor barang antar negara-negara Asean Free Trade Area / North American Free Trade Agreement (AFTA/NAFTA). Tiap negara akan memicu dan memacu komoditi unggulannya agar dapat terus bertahan dan mampu bersaing dengan negara lainnya. Secara individu, semua orang dituntut untuk menyeimbangkan dirinya, kemampuannya, cara berfikir dan intelektualnya dengan semua hal yang terkait dengan era ini.
Kondisi struktural institusi bisnis negara-negara di dunia akan menghadapi pakem baru, dideregulasi sedemikian rupa sehingga meninggalkan pakem monopolistik protektif yang mulai usang, menjadi pakem liberalisasi dan privatisasi. Hal tersebut akan mengubah peta persaingan ekonomi antar negara tersebut menjadi lebih terbuka dan transparan. Tiap negara kini tengah mempersiapkan stimulan peningkat daya saing komoditi mereka.
Peta persaingan global tersebut akan semakin dipermudah oleh kenyataan teknologi yang semakin menjanjikan kecepatan dan kemudahan melalui jaringan komunikasi dimensi ketiga yang telah lahir melalui penggabungan komputer dengan telekomunikasi, sebuah fenomena luar biasa yang telah mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional. Menurut Didi M.Arief Mansur, “ Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (hard reality), dimensi kedua adalah kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (Soft reality), maka dimensi ketiganya adalah kenyataan maya (virtual reality)”[1].
Dalam dimensi ketiga inilah dunia berada dalam satu jaringan komputer yang terhubung di seluruh dunia, yang pada perkembangannya dikenal dengan istilah internet (internasional network), yang oleh Budi Sutedjo didefinisikan sebagai “sebuah jaringan komputer yang sangat besar yang terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh dunia”[2]. Kondisi ini menjanjikan perkembangan dan kemajuan luar biasa bagi seluruh manusia di dunia, transparansi yang diharapkan, kemudahan, kecepatan, kebebasan dan semua bentuk simbolik dari kesejahteraan tergambar pada awal lahirnya jaringan ini. Namun, seperti halnya teknologi-teknologi sebelumnya selain menunjukkan kemajuan dan menjanjikan hal-hal luar biasa dalam kehidupan, iapun menjanjikan sebuah risiko besar bagi kesejahteraan itu sendiri.
Nyaris semua orang, pembuat bisnis nasional dan Internasional ,menjadikan internet sebagai fasilitas, bahkan menjadikannya sebagai transportasi kilat dalam menjalankan bisnisnya. Mulai dari transfer antar perusahaan, jual-beli jarak jauh, gaji karyawan, pemasaran, hingga komunikasi dua arah “dunia maya” (cyberspace).
Saat ini, sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bahwa internet adalah sarana transaksi perbankan nasional dan internasional, suatu system yang nyaris sempurna, tapi bukan berarti tidak memiliki kelemahan. Dari sekian banyak kemudahan yang ditawarkan, ada sekian banyak risiko yang mengiringinya. Hal ini pula yang kemudian menjadi kesulitan bagi hukum ketika bersentuhan dengan pola-pola kejahatan modern tersebut, mengingat hukum sendiri terikat pada asas legalitas” Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Sebuah pertanyaan besar muncul kemudian, mampukah hukum nasional Indonesia mengatasi pola-pola kejahatan tersebut, mengingat perkembangan yang ada akan berdampak besar bagi perubahan sosial masyarakat, sedangkan undang-undang pada umumnya selalu tertinggal di belakang perkembangan dan perubahan sosial tersebut. Namun, bukan itu yang akan penulis analisis dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis tidak akan banyak menyentuh mengenai relevansi aturan –aturan yang ada untuk menjerat pembuat kejahatan melalui internet.
Pada akhirnya resiko yang timbul kemudian, mematahkan kemudahan-kemudahan yang ada. Hidup dengan segala kemudahan tersebut melahirkan kekhawatiran, kejahatan dan pelanggaran dalam berbagai modus timbul seiring perkembangan teknologi . Kejahatan yang oleh Barda Nawawi Arief disebut sebagai: “kejahatan berdimensi baru”[3] ini berkembang dengan berbagai istilah; cyber space, virtual space offence, dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnasional crime atau dimensi baru dari white collar crime. Istilah-istilah tersebut secara substansi tidak mempengaruhi apa yang dimaksud dengan kejahatan dimensi baru ini, walaupun pada perkembangannya lebih sering digunakan istilah cyber crime, kejahatan dunia maya atau oleh Barda nawawi Arief digunakan istilah kejahatan Mayantara.
Penulis sendiri dalam tulisan ini akan menggunakan istilah “cyber crime” sebagai kesatuan istilah agar tidak terjadi penggunaan istilah secara bergantian yang akan menimbulkan kesimpang – siuran yang tidak diharapkan. Pemilihan istilah cyber crime oleh penulis tidak memiliki alasan ilmiah yang dapat penulis pertanggung jawabkan, karena pada dasarnya para ahli hukum di Indonesia banyak menggunakan istilah yang berbeda dan belum ada ketetapan secara permanen. Secara sederhana pemilihan istilah ini hanya untuk mempermudan penulis dan pembaca dengan satu istilah yang penulis bakukan sendiri dalam tulisan ini.
Dalam perkembangannya cyber crime tidak hanya terlahir dalam satu jenis kejahatan melainkan berbagai jenis, baik yang menggunakan komputer sebagai alat/sarana maupun yang menjadikan komputer sebagai objek. Dikatakan oleh Didik M. Arief Mansur dalam bukunya Cyber Law bahwa: “Ada ahli yang menyamakan antara cyber (cybercrime) dengan tindak kejahatan komputer, dan ada ahli yang membedakan di antara keduanya”[4]. Menurut mereka yang membedakan kedua modus kejahatan tersebut, kejahatan komputer biasa tidak menggunakan jaringan internet melainkan hanya menggunakan komputer sebagai alat kejahatan atau objek kejahatan, sedangkan kejahatan komputer berbasis internet adalah semua kejahatan komputer yang menggunakan jaringan internet untuk melakukan kejahatan. Menurut Didik M. Arief bahwa:
“Meskipun belum ada kesepahaman mengenai pendefinisian kejahatan Teknologi Informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejhatan Komputer. Secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber (cybercrime) adalah ‘upaya memasuki atau menggunakan fasilitas komputer tanpa izin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut’”.[5]

Cyber crime sebagai satu bentuk kejahatan berdimensi baru seperti halnya dengan dua jenis kejahatan yang juga dapat disebut “baru’ yakni blue collar crime (kejahatan kerah biru) dan white collar crime (kejahatan kerah putih), cyber crime dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya; pembajakan, pornografi, pemalsuan dan pencurian kartu kredit, penipuan lewat email, perjudian on-line, pencurian dan penggunaan account internet milik orang lain, terorisme, isu SARA, situs sesat, pencurian data pribadi, pembuatan dan penyebaran virus komputer, pembobolan situs, cyber war, pembajakan situs, deniel of service (DoS), distributer DoS Attack, Nama domain dll.
Salah satu bentuk dari Cyber crime diatas adalah kejahatan Nama domain (cyber squatting) yang merupakan kejahatan pendaftaran merek dagang atau nama yang memiliki nilai komersial. Kejahatan Nama domain dapat terjadi dalam tiga bentuk[6]. Pertama, mendaftarkan nama domain badan usaha, organisasi, orang lain atau pihak lain di luar dirinya kemudian dijual pada pemilik nama domain tersebut dengan harga yang jauh lebih mahal (cyber squatter). Jenis pertama ini mirip calo karcis yang tujuan utama mencari keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Kedua, membuat domain plesetan (typosite) yang juga bertujuan mencari keuntungan. Domain plesetan ini biasanya didaftarkan untuk menjerat pengguna internet masuk dalam situs yang diinginkan pembuat untuk diarahkan dengan maksud tertentu, atau dalam bentuk lain seperti kasus klikbca.com, dimana situs klikbca.com diplesetkan menjadi clikbca.com, clikbac.com dan klikbac.com. Dalam kasus ini pelanggan yang salah ketik klikbca.com, kemungkinan besar akan masuk dalam situs plesetannya. Modus ini bertujuan untuk membuat pelanggan memasukkan nomor pinnya, ketika pin sudah masuk kedalam situs plesetan, maka pembuat akan mudah menarik account pelanggan yang terjebak.
Bentuk cyber squatting yang ketiga adalah mendaftarkan nama domain saingan yang lebih papoler darinya (Parasites)[7], pendaftaran domain saingan ini dapat terjadi dengan beberapa alasan. Pertama, membajak situs saingan dengan tujuan membatasi pemasaran saingannya tersebut. Kedua, menjaring pelanggan saingan untuk masuk dalam situs tersebut kemudian diarahkan untuk masuk dalam server tertentu pada situs tersebut dan yang terakhir, bertujuan merusak nama baik saingan dimata pelanggannya melalui Nama domain saingannya tersebut.
Menjadi hal menarik di awal lahirnya Undang-undang baru Indonesia No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya akan disebut UU ITE), diatur sebuah pasal yang khusus mengatur tentang nama domain; prinsip pendaftaran dan dasar-dasar pendaftarannya. Menjadi pertanyaan yang cukup ramai setidaknya dikalangan pengguna aktif net dan blogger-blogger Indonesia ketika diatur secara khusus unsur itikad baik dalam pendaftaran nama domain; bagaimana dan sejauh apa sebuah tindakan pendaftaran nama domain dinyatakan memiliki itikad baik atau itikad tidak baik.
Menjadi ketakutan tersendiri bagi bloger Indonesia mengingat nyaris setiap blogger memiliki blog dengan nama domain yang terkait nama badan hukum dan/atau nama selain dirinya, sekaligus menimbulkan pandangan pesimis dari banyak kalangan mengenai penentuan itikad baik dan penegakan hukum terhadap tindakan yang diduga memenuhi unsur itikad baik. Kekhawatiran yang logis dari konsekuensi sebuah aturan yang harus ditegakkan, namun belum memiliki ukuran-ukuran jelas, sedangkan bentuk-bentuk pendaftaran nama domain orang lain telah lahir dalam berbagai jenis; mulai dari pendaftaran nama domain yang sama seutuhnya, sebagian hingga pendaftaran nama domain yang disamakan bidangnya.
[1] Mansur, Didi M.Arief. Cyber law; Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama, 2005. hal.2
[2] Oetama, Budi sutedjo dharma. E-Education; Konsep Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi. 2002. hal. 52
[3] Arief, Barda Nawawi. Tindak Pidana Mayantara. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. 2006.hal. 1
[4] Mansur, Didi M.Arief. Op. Cit hal. 6
[5] Ibid hal. 8
[6] Rahardjo, Budi. Memahami teknologi informasi; menyikapi dan membekali diri terhadap peluang dan tantangan teknologi informasi. Jakarta: Elekmedia Komputindo. 2002. hal. 116
[7] Mansur, Didi M.Arief. Op. Cit hal. 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar