Entri Populer

Kamis, 17 Desember 2009

AL- MASLAHAT AL-MURSALAT

By: Setia Darma


Dalam Ilmu ushul Fiqh al-mashlahat al-mursalat adalah suatu mashlahat yang tidak ditetapkan oleh syar’I sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar’I yang menyatakan keberadaannya atau keharusan untuk meninggalkannya . Ia merupakan metode penerapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-qur’an dan Hadist, sehingga dialkukan pelacakan hukum untuk menemukan hukumnya dan bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Zuhairi Misrawi Metode al-mashlahat al-mursalat adalah metode pelacakan hukum yang paling standar .
Al-mashlahat al-mursalat sangat menekankan pada kemashlahatan secara umum, sehingga proses penemuan hukumnya sangat tergantung kepada kebaikan secara umum yang dirasakan seluruh masyarakat atau setidaknya sebagian besar masyarakat. Sebagai sebuah metode pelacakan hukum, almashlahat al-mursalat merupakan metode standar yang ditawarkan oleh Imam Malik.
Imam Malik adalah ahli Hadist sekaligus ahli fiqh, hidup pada kurun waktu 93 H-170 H atau 715 M- 795 M. Beliau merupakan pencetus Madzhab Maliki dengan bukunya yang terkenal yakni Al- Muwattha’. Di Hijaz Beliau diberi gelar Saydi Fuqaha Al-Hijaz (penghulu para ahli fiqh di seluruh negeri Hijaz) .


Dasar Hukum Al-mashlahat al-mursalat

Keberadaan al-mashlahat al-mursalat merupakan pemenuhan terhadap prinsip-prinsi hukum Islam. Pertama, Islam sebagai Rahmatullil’alamin selalu tidak memberatkan,
Firman Allah swt dalam Al-qur’an yang Artinya:
“Allah tidak membebani manusia, melainkan sekedar kuasanya” (QS: Albaqoroh:286)

Firman Allah dal QS Al-Baqoroh yang artinya Artinya:
“Allah menghendaki keringanan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran” (QS: Al-baqoroh: 185)

Artinya:
“Allah tidak menghendaki untuk menjadikan sesuatu kesempitan bagimu”
(QS: Ali-Imran: 6)
Didukung pula oleh Hadist Rosul, sbb:

Artinya:
“ Tidak boleh memudharatkan orang dan tidak boleh dimudharatkan orang” (HR. Al-Thabrani).
Kedua, Memperhatikan kemaslahatan manusia, bahwa hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan degan sang pencipta. Jika baik hubungan antar manusia maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Oleh sebab itu, perlu diatur hukum yang jelas dan mengutamakan kemashlahatan umum, dngan cara menetapkan hukum sesuai kebutuhan masyarakat. Didukung oleh kaidah Fiqh:

Artinya:
“Tidak diingkari adanya perubahan hukum disebabkan oleh perubahan masa”


Alasan adanya Al-mashlahat al-mursalat

Fenomena social dalam masyarakat Islam yang cenderung lebih kompleks dari aturan islam yang ada, ditambah pula dengan kenyataan bahwa banyak hal dalam kehidupan masyarakat yang belum diatur secara jelas, definitif dan terperinci dalam Al-qur’an dan hadist, walaupun telah termuat asas-asasnya secara umum. Kondisi tersebut menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad sebagai pengisi kekosongan hukum yang timbul.
Banyak kemudian metode Ijtihad yang dicetuskan sebagai upaya pencarian dan penemuan hukum tersebut, diantaranya adalah Ijma’ ulama dan qias. Ijtihad sendiri merupakan usaha yang optimal dari fuqaha untuk menemukan hukum berdasarkan al-qur’an dan hadist atas suatu peristiwa yang baru karena belum ada ketentuannya dalam wahyu. Aturan bakunya bahwa yang dapat melakukan Ijtihad adalah mujtahid, yakni orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; mempunyai pengetahuan mendalam tentang Al-qur’an, sunnah Nabi, tarich, Ilmu masyarakat serta yang bermoral tinggi atau adil. Dalam ilmu Ushul Fiqh Syafi’i “Al-Risalah” dikenal beberapa tingkatan mujatahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mutlak ialah para iamam Madzhab yang kebebasannya melakukan ijtihad hampit tidak terbatas.
b. Mujtahid Madzhab ialah mujtahid yang kebebasan Ijtihadnya terbatas pada madzhabnya, yakni mengenai materi (hal) yang belum ada dalam madzhabnya.
c. Mujtahid Fatwa ialah ulama penganut suatu madzhab dalam menghadapi berbagai pendapat ulama yang berbeda-beda mengenai satu materi dalam madzhabnya, maka ia berwenang menyatakan pilihannya.
persamaan pendapat / pandangan antara para Fuqaha (Mujtahidin) mengenai hukum suatu kasus/ peristiwa yang baru dalam mayarakat . Ijma’ yang dalam istilah barat disebut consensus merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-qur’an dan hadist, yang menjadi obyek Ijma’ adalah semua bidang keagamaan dan kemasyarakatan yang belum ada aturannya dalam al-qur’an dan hadist. Beberapa hal yang menjadi landasan dibenarkannya Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam, yakni:
1). Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat:115; yang artinya:
“Dan barang siapa menentang Rosul sesudah jelas kebnrana baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu , dan kami masukkan ia keda;lam jahanam,…” (QS: An-nisa’:115)
2). Dari salah satu hadist Shahih yang berarti bahwa umatku (Sabda nabi) tidak akan bersepakat ( persamaan pendapat) tentang hal-hal yang menyesatkan. Menurut penafsiran acontrario bahwa bila ada terjadi persamaan pendapat umat islam mengenai hukum, maka disebut Ijma’i dan menurut cara-cara tertentu ia mengikat umat islam.
3). Dalil logika, bahwa islam itu adalh suatu agama bukan saja mengandung ajaran-ajaran tentang kepercayaan kepada ketuhanan (alam gaib) dan tatcara menjaga hubungan baik dengan Tuhan atau ketuhanan (Ibadat) tetapi juga berisikan ajaran untuk mengatur hidup masyarakat secara universal sesuai dengan zaman, keadaan dan tempat manapun.
Selanjutnya, metode ijtihad selain ijma’ adalah Qias. Menurut loghat (etimologis) berasal dari kata qaasa yang artinya mengukur atau menimbang.
Menurut fiqih berarti, menetapkan hukum atas sesuatu kasus ( hal atau peristiwa) baru sesuai dengan hukum yang di tetapkan qur’an atau sunnah ( atas kasus yang terdapat di dalamnya) bila dapat di tunjukkan adanya hubungan ( illat) antara hal/ peristiwa yang baru yang dengan yang terdapat dalam qur’an atau sunnah ( ashal) itu.
Sebagai alat untuk menemukan hukum syari’at terhadap segala hal yang baru dengan membandingkan kepada hal-hal yang telah terdapat hukumnya di dalam qur’an dan sunnah , dengan mencari adanya landasan untuk membandingkanya. Maka, qias yang syah itu harus memenuhi 4 syarat:
1. adanya ashal (pokok) ialah hal (kasus) yang hukumnya jelas di berikan qur’an dan atau sunnah
2. adanya fara (cabang) ialah hal (kasus) baru yang terhadapnya belum ada hukum penilaian syari’at.
3. adanya illat ( landasan penghubung) ialah sesuatu yang dapat menghubungkan / membandingkan antara fara dan ashal.
4. hukum (penilaian syari’at) terhadap ashal di terapkan pada yang fara.

Berikut ini beberapa dalil yang menjadi Landasan pembenar (justification) diperlukannya qias adalah:
a. Ayat-ayat qur’an yang mendorong agar manusia menggunakan akal fikirannya seperti surah Al-baqoroh ayat 39 , “ fa’tabiru ya ulil albab”.
b. Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 59; yang Artinya:
“ wahai orang-orang beriman ikutolah Allah dan ikutilah rosul-Nya dan ulil amrimu ( pemimpin yang berwenang) , sekiranya terdapat perbedaan pendapat di antara kamu maka kembalikanlah pada Allah dan rasul-Nya” (QS: An-Nisa’ ayat 59)
Mengembalikan sesuatu kepada Allah dan rosul berarti menggunakan qur’an dan sunnah yaitu dengan berijtihad, yang salah satu methodenya ialah qias.
c. Hadist yang sahih yang terdapat juga dalam shahih muslim yang meriwayatkan, bahwa sesuatu ketika nabi Muhammad SAW mengutis salah seorang sahabatnya bernama muadh bin jabbai ke Arabia selatan ( yaman) .
Ketiks muadh menerima amanat dari nabi, nabi bertanya:
Nabi : dengan apakah kamu menghukum sesuatu perkara yang kamu hadapi di daerah itu?
Muadh : dengan kitabullah (Alqur’an )
Nabi : bagaimana kalau hal itu tidak terdapat dalam al-qur’an?
Muadh : saya menggunakan sunnah nabiku
Nabi : bagaimana kalau juga tidak terdapat dalam sunnah ku?
Muadh : lalu akan aku gunakan pikiranku (berasaskan qur’an dan sunnah)
Nabi : alangkah bangganya aku mempunayai sahabat seperti muadh ini.
Demikian hadist ini di gunakan sebagai landasan pembenar dari ijtihad pada umunya dan qias pada khususnya., hal mana ssuai pula pada hadist lain yang menyatakan bahwa “ al dinu aklun ladina liman la akla lah” : “ agama itu akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”.
d. Konsekwensi dari pada watak agama islam bersifat universal ialah bahwa islam dapat memecahkan masalah-masalah sosial dan bila manapun juga. Sedangkan qur’an dan sunnah tidak memberikan ketentuan-ketentuan yang difinitif dan terperinci. Tetapi membuat azas-azas yang umum , sehingga apabila islam dapat tetap berlaku universal, maka akal manusia yang di hargainya itu harus digunakan dalam bidang ijtihad.
Demikian pelacakan hukum melalui ijtihad yang di Syaratkan, Baik melalui ijma’ maupun Qias mensyaratkan prosedur yang baku, hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam pencarian hukum untuk diterapkan pada peristiwa kemasyarakatan yang terjadi. Oleh karena itu, ditawarkan modus penyangga sebagai solusi untuk pencarian hukum yang tidak terlalu baku dan mengikat, dari Imam Hanafi Ditawarkan Istihsan dan dari Imam Maliki ditawarkan al-mashlahah al-mursalah. Kedua modus penyangga tersebut tidak memiliki perbedaan yang terlalu prinsipil.
Dalam al-mashlahat al-mursalat terdapat semangat beragama Mayoritas ahli fiqh menerima metode al-mashlahat al-mursalah. Namun, mereka memberikan beberapa syarat untuk pemberlakuannya. Imam Malik sendiri menyatakan beberapa syarat untuk metode yang ia tawarkan, yakni :
a) Maslahah tersebut bersifat Reasonable (ma’qul) dan relevan dengan kasus hukum yang di tetapkann.
b) Mashlahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang darurat dan menghilangkan kesulitan dengan cara menghilangkan masyaqqat dan mudharat.
c) Mashlahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Sementara itu Al-ghazali menetapkan beberapa untuk al-mashlahat al-mursalat, yaitu :
 Kemashlahatan tersebut harus termasuk kategori peringkat darurat. Artinya, untuk menetapkan suatu kemashlahatan tingkat keperluannya harus diperhatikan, jangan samapi mengancam eksistensi lima unsure pokok maslahat.
 Kemashlahatan itu bersifat Qath’i. Artinya, kemaslahatan yang dituju harus benar-benar diyakini dan bukan atas dasar dugaan semata-mata.
 Kemaslahatn itu bersifat kulli. Artinya, kemashlahatan itu ditujukan pada masyarakat umum.
Dari penjelasan sederhan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan utama dari al-mashlahat al-mursalah antar lain adalah:
1. Memberi solusi yang lebih fleksible dan tidak kaku dalam pencarian hukum demi menjawab pertanyaan hukum kemasyarakatan.
2. Mencari pemecahan masalah dengan lebih mudah, cepat dan diyakini mashlahatnya..
3. Menjawab pertanyaan hukum sekaligus mengisi kekosongan hukum dengan dasar kemashlahatan umum.


Kedudukan al-mashlahat al-mursalah dalam tatanan hukum islam

Al-mashlahat al-mursalah merupakan salah satu sumber hukum islam yang diakui oleh kaum muslimin dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan diatas. Untuk mengetahui kedudukannya dalam tatanan hukum islam, maka harus dilihat urutan sumber hukum yang diberikan oleh Imam Malik sebagai pencetus metode ini. Menurut Imam Malik Urutan sumber hukum islam adalh sebagai berikut :
i. Al-qur’an
ii. Sunnah
iii. Ijma’ Ulama
iv. Qias
v. Al-mashlahah al-mursalah


Al-mashlahat al-mursalah dalam kehidupan sehari-hari

Berikut contoh-contoh al-mashlahat al-mursalat dalam kehidupan sehari-hari:
 Dibolehkannya wudhu tidak berurutan jika airnya terbatas. Hal tersebut oleh Imam Malik diperbolehkan jika air yang digunakan terbatas, apabila seseorang berwudhu dengan kondisi keterbatasan air ia diperbolehkan mencuci muka, tangan atau kakinya ditempat yang berbeda.
 Diperbolehkannya makan ditempat shohibul musibah, terdapat beberapa perbedaan disini, ada madzhab yang melarang memakan makanan dirumah shohibul musibah. Namun, ada madzhab yang membolehkan makan dirumah shohibul musibah dengan alasan kemashlahatan, bahwa makanan yang memang diberikan oleh shohibul musibah adalah bentuk penghormatan mereka pada tamu yang datang berta’ziah, penolakan dalam bentuk tidak memakan makanan yang mereka berikan adalah wujud ketidak perdulian kepada niat dan perasaan shohibul musibah. Ada beberapa alasan yang menguatkan hal tersebut; pertama, kita tidak boleh memfatwakan haram makann yang halal. Kedua, Fatwa pelarangan tersebut membentuk opini dalam masyarakat, sehingga mereka tidak pernah mau makan ditempat shohibul musibah walaupun sudah dijamu (dipersilahkan), padahal semua itu tidak benar.
 Mengenai Talaq, dianggapnya talaq tiga sekaligus atau talaq tiga yang diucapkan pada satu waktu sebagai “talaq tiga”, walaupun ada madzhab yang menyatakan bahwa talaq tiga dalam satu waktu atau sekaligus dianggap sebagi talaq satu. Alasan dianggapnya talaq tersebut sebagai talaq tiga adalah agar masyarakat (suami) lebih berhati-hati dalam mentalaq istrinya.
 Diperbolehkannya menikahi wanita Hamil. Untuk kasus ini, yang menikahi wanita hamil tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya (untuk kasus hamil diluar nikah), hal ini diperbolehkan karena beberapa alasan. Pertama, untuk menolong si perempuan dan keluarganya dari aib yang kemungkinan besar akan menghinakan keluarnya hingga waktu yang tidak terbatas. Kedua, untuk meredam kemungkinan pandangan masyarakat mengenai hamil diluar nikah, dengan adanya hamil diluar nikah yang tidak tercover pada masyarakat akan menipiskan moral dan rasa malu dalam masyarakat.
 Diperbolehkannya mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dalam keadaan darurat , dimana jika tidak dikonsumsi akan menimbulkan kematian. Untuk pengecualian ini memiliki syarat dan batasan, artinya darurat tersebut benar-benar tidak dapat ditawar, serta mashlahat yang didapat harus pasti lebih banyak dari mudharatnya. Mengenai hal ini, dikuatkan oleh kaidah Fiqh:

“Keadaan terpaksa menjadikan apa yang semula dilarang dibolehkan”
 Diperbolehkannya bekerjasama, menjalin hubungan kepercayaan dan hubungan baik serta saling membantu terhadap orang kafir dengan tujuan kebagikan secara umum, artinya dapat memberi manfaat bagi banyak kalangan . Hal ini juga merupaka upaya untuk menjaga keseimbangan social dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.

Wallahua'alam Bisshowaab...

Jumat, 13 November 2009

RANI JULIANI, SAKSI KUNCI ??..

Oleh: Setia Darma

Dalam hukum tidak di kenal saksi kunci, semua saksi berkedudukan sama dan kekuatan keterangannya-pun sama.

Menurut Pasal 1 ayat 27 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : “Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Ditarik dari inti Pasal 1 point 27 KUHAP tersebut saksi adalah orang yang melihat, mendengar dan merasakan sendiri suatu peristiwa pidana. Mari kita lihat dimana posisi Rani Juliani dalam kasus “pembunuhan” Nasrudin Zulkarnaen.

Rani adalah Istri dari Nasrudin yang dalam hal ini adalah “korban”. Secara umum Rani mengetahui bahwa Nasrudin memiliki hubungan atau setidaknya KENAL dengan “Terdakwa” (Antasari Azhar) yang telah di ‘dakwa’ membunuh Nasrudin.

Point penting yang perlu kita catat: “Rani tidak ada di tempat perkara atau di sekitarnya yang memungkin ia bisa mendengar jeritan/tembakan, ketika Nasrudin terbunuh”. Semua keterangan Rani adalah semua hal yang terjadi “di luar” pembunuhan Nasrudin.

Menurut Rani, ia membaca SMS di Hp Nasrudin yang tertulis dari “Antasari Ketua KPK” yang berisi ancaman/ terror dll. Pertanyannya: Pertama, apakah benar itu dari Nomor Antasari Ketua KPK? Atau sebuah Nomor yang tersimpan atas nama Antasari ketua KPK?. Kedua, Jika seandainya benar itu nomor Antasari, apakah berdasarkan SMS tersebut bisa di pastikan bahwa pembunuh Nasrudin adalah Antasari?.

Jawaban untuk pertanyaan pertama, bisa saja (ada kemungkinan) nomor itu bukan nomor Antasari, mengingat Rani Juliani tidak pernah tahu dan melihat nomornya (ia hanya melihat nama yang tersimpan) dan tidak hafal nomor Antasari.

Lalu untuk apa Nasrudin menyimpan nomor seseorang atas nama “Antasari?”, jika itu terjadi…, hanya Nasrudin yang tahu jawabannya.

Jawaban untuk pertanyaan Kedua. Jika SMS itu benar dari Antasari, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan utama untuk “memastikan” bahwa Antasari adalah pembunuh Nasrudin. SMS tersebut hanya menunjukkan “kemungkinan” bahwa Antasari-lah yang membunuh Nasrudin. MUNGKIN bukan PASTI.

Bagaimana dengan “tuduhan” pelecehan atas Rani oleh Antasari?. Jawabannya, hal tersebut ada di luar kasus “pembunuhan” ini. Selain itu , mendengar dan melihat bagaimana Rani menjawab pertanyaan Wartawan, Rani tidak terlalu yakin ”kalau dia benar-benar telah di lecehkan”. (Mengenai Point ini, Wallhu a’lam Bisshowab…)
Pada akhirnya “keterangan” Rani tidak memiliki kekuatan hukum. Kenapa?. Karena Rani sama sekali bukan saksi yang melihat atau mendengar sendiri atas suatu peristiwa, ia ada di luar “peristiwa pidana” itu sendiri. Keterangannya menjadi “Testimonium De Auditu” alias cerita menurut cerita (Alm) Nasrudin.

Intinya, Rani menuduh Antasari membunuh Nasrudin berdasarkan “apa yang dikatakan” Nasrudin sebelum ia terbunuh. Tidak ada alasan bagi Rani untuk menyatakan bahwa “IA YAKIN” karena ia tidak melihatnya atau mendengar sendiri pembunuhan tersebut.

Memang tidak bisa “ditampik”/ disangkal bahwa keterangan Rani bisa menjadi keterangan atas adanya “Modus” atau salah satu Modus bagi Antasari untuk membunuh Nasrudin. Tapi tidak bisa “kita” katakan itu menjadi “keterangan” Kunci/ keterangan utama untuk membuktikan/meyakin diri bahwa Antasari adalah “pembunuh” Nasrudin. Ini hanya menjadi “keterangan” atas adanya kemungkinan.

Hukum Bicara soal “fakta” peristiwa, bukan kemungkinan.

Keterangan saksi tidak memiliki kekuatan hukum, jika ia hanya bicara soal ” kemungkinan”.

Rani membawa keterangan “mungkin” atas “kemungkinan” adanya peristiwa pembunuhan yang dilakukan Antasari terhadap Nasrudin.

Dimana letak “kunci” atas keterangan Rani untuk memperjelas kasus pembunuhan Nasrudin?. Tidak ada.

KUNCI nya ada pada “Nasrudin” dan “sang eksekutor”, baru bisa di lihat ADA SIAP DI BALIK PINTU??? …

Hanya Pada Allah terletak setiap kebenaran, karena Hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu.

Kamis, 13 Agustus 2009

TENTANG HAK TANGGUNGAN *Paper

PENDAHULUAN
Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat, sehingga diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga pemberi piutang seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk menjamin kembalinya haknya. Banyak benda yang bisa dijaminkan dalam perhutangan, bisa benda bergerak ataupun benda bergerak. Hak tanggungan merupakan jaminan benda tak bergerak, tentang hak tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 april 1996 dengan UU No. 4 tahun 1996. pada dasarnya, pada UU no. 5 tahun 1960 telah dijanjikan bahwaakan diatur hak tanggungan sebagai hak yang memberi jaminan atas tanahdan benda-benda yang berada atas tanah itu, baik berikut dengan benda-benda atas tanah tersebut atau tidak, akan dibuat peraturannya oleh pemerintah.
Berlakunya undang-undang hak tanggungan No.4 tahun 1996, menghapus ketentuan tentang hipotik serta creditverband. Sebelum ada Undang-undang No. 4 Tahun 1996, yang dapat dijadikan jaminan hipotik adalah hak-hak tertentu atas tanah seperti : hak mili, hak ghak guna bangunan. Hak pakai belum dimungkinkan untuk dijadikan jaminan untuk hutang. Tapi, pada Undang-undang hak tanggungan tahun 1996, hak pakai tertentu yaitu yang wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan, telah dijadiakn juga sebagai objek dari hak tanggungan.
Undang –undang hak tanggungan memiliki cakupan lebih luas disbanding undang-undang sebelumnya, terutama dalam rangka peroses pembangunan secara besar-besaran dibidang ekonomi pada umumnya dan real estate pada khususnya yaitu, dalam rangka program pemerintahyang diselenggarakan dengan mendirikan rumah susun, apartement dan komdominium. Ternyata atas bends seperti ini diberi kesempatan untuk dijadikan sebagai objek hak tanggungan.


A. Pengertian

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana di maksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor–kreditor lain.
Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa hak tanggungan :
 Merupakan hak jaminan untuk pelunasan hutang (kredit)
 Dapat di bebankan pada hak atas tanah, dengan atau tanpa benda di atasnya;
 Menimbulkan kedudukan di dahulukan daripada kreditor-kreditor lain.
Pengertian hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 1 butir 1 UUHT di atas, sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah berdasarkan UUPA. Asas pemisahan horizontal ini menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan dengan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut.
Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa banyak bangunan yang tidak dapat dipisahkan dengan tanahnya, sehingga dimungkinkan obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, jika hal ini dilakukan, maka para pihak harus menyatakannya secara tegas didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa Hak Tanggungan tersebut adalah hak atas tanah beserta benda-benda lain di atasnya.

B. Sifat hak tanggungan.

Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Artinya,apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian,maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan.
Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam pasal 2 UUHT,dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan manggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi.

C. Objek Hak Tanggungan

Di dalam pasal 4 UUHT diatur tentang pelbagai macam hak atas tanah yang dapat di ijadikan objek Hak Tanggunghan, yaitu:
a. Hak milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e. Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selain hak-hak diatas tanah seperti dikemukakan di atas, yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada diatas tanah maupun dibawah tanah) tanaman dan hasil karya (misalnya candi,patung, gapura, relief) yang telah ada atau akan ada, yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut harus dinyatakan dengan tegas didalam APHT yang bersangkutan.
Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta (bersama)pada APHT yang bersangkutan oleh pemilik bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menadatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda- banda diatas tanah tersebut.
Dengan penjelasan umum UUHT, disebut 2 unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu:
a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum yang terdapat pada Kantor Pertahanan;
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan.
Berdasarkan kedua unsure mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan maka, hak mi9lik tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena sesuai dengan hakekat perwakafan yakni hak milik yang sudah diwakafkan merupakan hak milik yang sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan demikian, semua hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci liannya tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, diatas hak pengelolaan maupun diatas tanah hak Negara.
Adapun mengenai hak pakai, sebelum ditentukan UUHT ini tidak dapat dijadikan objek jaminan pelunasan hutang, karena menurut UUPA hak pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, sehingga tidak memenuhi syarat publisitas. Dalam perkembangannya sekarang hak pakai atas tanah Negara harus didaftarkan, sehingga dapat dipindah tangankan.
Hak pakai yang tidak dapat dipindah tangankan antara lain hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan social, hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan dan hak pakai tersebut diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan instansi atau badan diatas.
Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan, karena hingga saat ini tidak terdapat kewajiban untuk mendaftarkan hak pakai diatas tanah hak milik. Akibatnya, salah satu syarat mutlak agar suatu hak atas tanah dapat dijadikan objek hak tanggungan tidak terpenuhi. Menurut pasal 4 ayat 3 UUHT, pembebanan hak tanggungan atas hak pakai diatas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang hak tanggungan didaftarkan atas asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding), sebagai kebalikan dari pemisahan vertical (verticale scheiding). Menurut BW yang belaku terdahulu, tanah dan bangunan yang didirikan atasnyamerupakan suatu kesatuan. Dengan kata lain pemilik dari tanah adalah pemilik bangunan yang ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan vertical.
Menurut hukum adat bisa saja pemilik tanah berlainan dari pemilik bangunan yang ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan horizontal dan karena undang-undang pokok agraria tahun 1960 menyatakan bahwa hukum adapt yang dipakai sebagai dasar, maka tidak mengherankan jika pemakaian asas horizontal ini dipakai dalam system hak tanggungan.

D. Tata cara pemberian hak tanggungan

Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditor dan debitor, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan :
1. membuat perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (atara lain berupa perjanjian pemberian kredit atau akad kredit) yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan.
2. membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yang dituangkan kedalam akte pemberian hak tanggungan (APHT) oleh notaries / PPAT.
3. melakukan pendaftaran hak tanggungan pada kantor pertanahan yang sekaligue merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.
Perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (antara lain perjanjian pemberian kredit yang dijamin dengan hak tanggungan dapat dibuat dengan akte dibawah tangan atau dengan akte otentik. Perjanjian ini merUpakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian pemberian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan (accessoir) pada perjanjian pokok.
Dalam pemberian hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jikan dengan lasan yang dapat dipertanggung jawabkan yang bersangkutan tidak dapat hadir sendiri, maka ia wajib menunjuk kuasa dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan yang berbentuk akte otentik. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan dapat dilakukan oleh notaris / PPAT yang keberadaannya sampai di wilayah kecamatan.
Hak tanggungan baru lahir ketika hak tanggungan tersebut dibukukan dalam buku tanah dikantor pertanahan. Pendaftaran menentukan kedudukan kreditor sebagai kreditor diutamakan terhadap kreditor-kreditor lain dan menentukan peringkat kreditor dalam hubungannya dengan kreditor lain yang juga pemegang hak tanggungan atas tanah yang sama sebagai jaminannya. Peringkat masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Peringkat hak tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut nomor urut APHTnya, hal ini dimungkinkan karena pembuatan beberapa APHT atas satu objek hak tanggungan hanya dapat dilakukan oleh PPAT yang sama.
Menurut pasal 5 UUHT, suatu objek hak tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Pemilik tanah atau persil yang telah menjaminkan tanah atau persilnya, dapat menguasai tanah itu atau menjualnya, karena hak tanggungan akan tetap melekat membebani tanah ditangan siapapun tanah itu berpindah.
Menurut pasal 11 UUHT, dimungkinkan untuk mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicntumkan bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT yang kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga.
Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
 janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
 Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan kecuali, dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan.
 Janji yang memberi wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh ingkar janji.
 Janji yang memberikan wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal itu diperlukab untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan kartena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
 Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitor ingkar janji.
 Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan.
 Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
 Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, apabila objek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
 Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek hak tanggungan diasuransikan.
 Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan.
 Janji yang dimaksud pada pasal 14 ayat 4 UUHT, karena tanpa janji ini, sertifikat hak tanah yang dibebani hak tanggungan akan diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.

E. Eksekusi Hak Tanggungan.

Apabila debitor tidak memenuhi janjinya, yakni tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 20 UUHT pemegang hak tanggungan pertama atau pemegang sertifikat hak tanggung andengan title eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungantersebut, berhak menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak didahulukan dari kreditor-kreditor lain.
Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksud piutang macet adalah piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet adalah piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui badan urusan piutang dan lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Sertifikat hak tanggungan diterbitkan oleh kepala badan pertanahan nasional dan dapat langsung dimohonkan eksekusi jika, memuat irah-irah dengan kata-kata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, irah-irah tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini sesui dengan bagian ke-II dari nomor 9 memori penjelasan bagian hukum atas Undang-undang hak tanggungan tahun 1996 yang menjelaskan lebih lanjut bahwa sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hak tanggungan dibutuhkan pencantuman irah-irah tersebut.
Menurut pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa kata-kata sacral “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esadicantumkan pada sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dengan kekuatan hukum tetap dan dinyatakan berlaku sebagai pengganti grosse akte hipotik sepanjang mengenaii hak atas tanah. Dalam undang-undang hak tanggungan tentang eksekusi belum diatur, maka peraturan mengenai eksekusi hipotik yang diatur dalam HIR dan RBg berlaku sebagai eksekusi hak tanggungan, memang bahwa sejak lahirnya undang-undang hak tanggungan.
Penyelesaian piutang melalui BUPLN dilaksanakan dengan menerbitkan surat paksa atau surat pernyataan bersama dan jika melalui penmgadilan negeri, debitor akan dipanggilan oleh ketua pengadilan negeri setelah ketua pengadilan negeri meneriam permohonan dari kreditor. Awalnya penanggung hutang diminta untuk membayar secara sukarela dengan melalui teguran dan diberi kesempatan selama 8 hari untuk membayarnya, jika tidak dibayar, maka eksekusi akan dilanjutkan dengan menyita hartanya dan kemudian dilelangkan untuk melunasi hutangnya. Dalam penyelesaian melalui pengadilan negeri sebelumhak tanggungan dilelang, didahului dengan pengumuman dalam surat kabar didaerah tersebut sebanyak dua kali dengan tenggang waktu 15 hari.
Apabila penjualan melalui pelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan penerima hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan. Sampai pada saat pengumuman lelang dikeluarkan, masih dapat dibatalkan jika hutang terlebih dahulu dibayar oleh pemilik hutang.
Jika hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dilunasi, maka badan pertanahan akan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat haka atas tanah yang dijakdikan objek hak tanggungan atau dengan catatan dari kreditor pemberi hak tanggungan meminta pada badan pertanahan untuk mencoretnya. Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan bahwa hutang telah lunas, maka pihak yang berkepentingan bisa meminta melalui kepada ketua pengadilan negeri setempat, dengan penetapan pengadilan negeri maka debitor memohon pencoretan pada kantor pertanahan.

Selasa, 04 Agustus 2009

SEBUAH NILAI

Oleh: Setia Darma



“Kenapa kita begitu marah ketika seseorang mengejek kita?”
“kenapa kita begitu terhina ketika di landa masalah? Atau ketika mengalami kekalahan?”, seolah nilai diri kita telah terambil karenanya, padahal nilai tidak pernah terpisah dari subjeknya. Apapun dan bagaimanpun kondisi yang adalah dalam diri kita tidak akan menambah nilai atau menguraingi nilai diri yang Allah anugrahkan pada kita. Sebesar apapun penghinaan yang orang lain timpakan pada kita tidak akan merendahkan atau mengurangi nilai itu.
Hanya diri kita sendiri yang bisa mengubahnya untuk menjadi lebih rendah atau lebih tinggi, untuk menjadi lebih baik atau sebaliknya.
Hidup ini seperti kanvas. Tugas kita adalah menggambar sesuatu yang indah diatasnya dan membaginya untuk orang lain, atau setidaknya menjadi inspirasi bagi mereka untuk menggam sesuatu yang lebih indah atau sama indahnya dengan lukisan yang kita buat. Tidak perlu gundah , jika ternyata gambar itu menjadi bahan tertawaan orang lain, biarkan kita memnadangnya dari sisi lain agar tetap terlihat indanh setidaknya ia menjadi irama dalam jiwa kita. Karena Nilai yang sesungguhnya adalah irama itu, sebuah cerminan tentang kebahagiaan yang terdefinisi.
Nilai diri kita ada pada irama jiwa kita sendiri, ketika kita mampu menilai pahit itu sebagai obat, manis sebagai anugrah, buruk sebagai perlindungan dan keindahan hadiah dari Tuhan. Maka setiap kesedihan, penghinaan, kekalahan, keberhasilan akan menjadi pelangi dalam hidup kita. Tak pernah akan ada satu tanganpun membuat kita terhina dan terpuruk pada situsi ”tak bernilai”, jika semua hal itu kita lihat dari sudut yang berbeda di atas kanvas itu, maka setiap hinaan itu adalah warna lain yang tak bisa kita dapatkan dimanapun.

Wallahu’alam bisshowab

Rabu, 10 Juni 2009

ETIKA DI DUNIA MAYA

OLEH: SETIA DARMA

Mengenai dunia maya sebagai ruang tanpa batas, Sutarman pada intinya menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menimbulkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum. Sebuah kenyataan yang menakjubkan ketika setiap orang dari belahan dunia yang berbeda dapat menikmati hiburan, mengakses apa saja yang menurutnya dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan, berkomunikasi, bahkan bertatap muka dalam hitungan detik tanpa harus saling bertemu. Kondisi ini menjadikan internet sebagai dunia baru yang sempit sekaligus menantang.

Dengan adanya layanan internet manusia dapat melakukan aktifitas layaknya didunia nyata (real), seperti mengobrol, melakukan transaksi bisnis, bertukar informasi dengan teman dan lain sebagainya. Sebagai dunia yang memiliki sifat dan tingkat kontrol berbeda dari dunia real, dunia maya dengan segala aktifitasnya jadi sulit untuk dibatasi, diawasi dan dibuktikan kegiatannya, jika ternyata pada akhirnya terjadi perbuatan melawan hukum. Ini menjadi penting, karena setiap kegiatan di dunia maya akan menimbulkan akibat yang nyata, sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Sutarman bahwa : “ kegiatan siber adalah kegiatan virtual tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya elektronik. Oleh karena itu, subyek pembuatnya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara nyata”.

Dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : “Ruang cyber (dapat disebut dengan istilah “mayantara”, walaupun mungkin kurang tepat) juga merupakan bagian atau perluasan dari lingkungan (invironment) dan lingkungan hidup (life invironment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya”. Dengan maksud yang sama Howard Rheingold menyatakan bahwa : “ cyber space adalah sebuah ‘ruang imajiner’ atau ‘maya’ yang bersifat artificial, dimana setiap orang melakukan apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru”.

Hal senada disampaikan oleh Ahmad Ramli dkk bahwa : “setiap kegiatan siber meskipun bersifat Virtual tetapi dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan yang nyata”. Sebuah kenyataan sosial bahwa internet menawarkan ruang publik yang maya, namun nyata terjadi dan nyata akibat-akibatnya. Lebih jelasnya diuraikan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut :
Dunia nyata dan maya (cyber space) tidak terpisah secara tegas. Artinya aktifitas di internet walaupun dianggap sebagai suatu aktifitas maya, dalam pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari manusia dalam dunia nyata. Ini dikarenakan internet sebagai sebuah teknologi menuntut peran manusia dalam pengoperasianya. Manusia dalam alam nyatalah yang bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya.

Sebagai perluasan dari lingkungan dan lingkungan hidup sudah sewajarnya jika dalam komunitas maya ini sendiri ternyata memiliki etika atau aturan yang harus ditaati bersama oleh pengguna internet. Diuraikan oleh Abdul Wahid sebagai berikut :
Dunia maya ini juga memiliki aturan (kelaziman) yang kita definisikan bersama. Aturan ini ada yang sama dan ada yang berbeda dengan aturan yang ada didunia nyata dikarenakan hukum-hukum fisika tidak berlaku di dunia ini (dunia maya; pen). Dua orang yang secara fisik berada ditempat yang jaraknya ribuan kilometer dapat berada di ruang virtual yang sama. Aturan yang sama antara lain sopan santun dan etika berbicara (menulis), meskipun kadang-kadang disertai dengan implementasi yang berbeda. Misalnya ketika kita menulis email dengan huruf besar semua, maka ini akan menandakan bahwa kita sedang marah. Sama ketika kita dianggap sedang marah (padahal mungkin saja karakter kita memang begitu). Semua ini memiliki aturan yang didefenisikan bersama.

Walaupun terjadi dalam ruang yang berbeda, namun kegiatan di dunia maya memiliki etika selayaknya di dunia nyata yang harus dipatuhi masyarakatnya, karena nyatanya pembuat baik didunia maya maupun didunia nyata adalah sama-sama orang yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan dan secara sosial memiliki moral dalam pergaulannya. Disampaikan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : “dinyatakan oleh Lessing, orang tetap orang, baik sebelum dan setelah mereka menjauh dari layar komputer (people remain people before and after they step away from the computer screen). Selanjutnya dinyatakan bahwa cyber space bukannya suatu wilayah aman di luar bumi (extraterrestrial safetyzone)….”.

Etika di dunia maya, dimana terjadi interaksi social yang pada perkembangannya membentuk komunitas baru (komunitas dunia maya) atau sering disebut dengan istilah “netizen” memiliki ukuran etika yang sama dengan dunia nyata tentang suatu perilaku yang patut atau tidak patut untuk dilakukan. Walau tidak dapat dihindari bahwa dengan segala bentuk pola interaksi di dalamnya yang tidak membutuhkan kehadiran secara fisik sangat dimungkinkan terjadi penyimpangan interaksi sosial berupa kejahatan dengan modus operandi yang baru dan tergolong canggih. Hal ini yang kemudian mampu menimbulkan korban yang meluas, lintas negara dengan kerugian material yang tanpa batas.

Seperti halnya etika di dunia nyata, etika di dunia maya sangat memperhatikan kelayakan dan kepantasan dalam interaksi sosial, menjadi bagian dari komunitas maya sama artinya dengan menjadi bagian dalam masyarakat sosial, dimana sopan satun dan kesusilaan menjadi ukuran dalam bermasyarakat.

Aturan yang seharusnya ditaati bersama dalam komunitas dunia maya pada kenyataannya tetap memiliki banyak penyimpangan, sebagaimana sebuah interaksi sosial kejahatan tetap menjadi salah satu fenomena dalam interaksi sosial tersebut.

Etika bukanlah suatu aturan hukum yang memaksa, sangat wajar jika ternyata penyimpangan terhadapnya sering terjadi dalam bentuk kejahatan- kejahatan. Hal yang membuat etika atau aturan tak tertulis dalam masyarakat ditaati dengan sedikitnya kejahatan yang terjadi adalah pembuat itu sendiri dan masyarakat dimana ia hidup atau dengan kata lain kontrollah yang sangat berperan dalam menentukan ditaatinya etika atau aturan itu dalam masyarakat. Menurut Abdul Wahid : “Reiss membedakan kontrol menjadi dua yakni; control personal dan social control”.

Diuraikan oleh Abdul Wahid mengenai kedua kontrol sosial tersebut sebagai berikut : “ Personal control adalah kemampuan seseorang untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara-cara melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud dengan social control atau control eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif”.

Selanjutnya, Abdul Wahid menguraikan yang pada intinya bahwa dalam dunia maya yang sangat menentukan kenapa kontrol sosial menjadi lemah adalah kenyataan bahwa interaksi sosial di dunia maya tidak membutuhkan kehadiran fisik dalam masyarakat, dimana pembuat berada dalam ruang privat dan dengan perbuatannya yang bersifat virtual (maya), sehingga sangat sulit bagi masyarakat ntuk memberikan reaksi langsung terhadap perbuatan yang merugikan mereka atau yang secara umum bertentangan terhadap norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Dengan lemahnya control social, maka akan sangat membantu dengan adanya personal kontrol (kontrol individu) yang akan mampu mencegah pembuat secara pribadi untuk melakukan kejahatan. Namun, dalam interksi sosial di dunia maya control individu pembuatpun melemah. “Kondisi ini timbul karena anggapan bahwa cyber space merupakan area yang bebas, jadi setiap individu bebas melakukan apa saja termasuk perilaku yang dalam dunia nyata (real) termasuk perilaku asosial”.

Intinya bahwa: “kejahatan akan timbul karena kontrol eksternal dan internal secara bersama-sama tidak mampu mengendalikan perilaku mereka” .

Wallahua'lam Bisshowaab...

Sabtu, 30 Mei 2009

TEKNIK PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

Oleh: Setia Darma



A. Pengertian

Teknik adalah tata cara yang sistematis dengan didahului dengan perencaan dan perhitungan yang matang. Sedangkan, pembuatan undang-undang adalah suatu tindakan terencana yang bertujuan untuk membuat undang-undang. Jadi, teknik pembuatan undang-undang adalah Suatu tindakan yang sistematis dengan tata cara tertentu yang didahului oleh suatu perencanaa dan perhitungan yang matan untuk membuat undang-undang.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa undang-undang dibentuk melalui suatu proses pemikiran dan perencanaan yang matang. Walaupun telah melalui perencanaan yang matang, namun bukan berarti membuat undang-undang tidak memiliki banyak kendala, sebab membuat rancangan undang-undang sebelum menjadi undang-undang adalah pekerjaan yang sulit. Menurut Pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.

Undang-undang menuntut kesempurnaan dalam arti susunan, bahasa, istilah dan sebagainya agar tidak timbul ambigu dalam penerapannya. Ambigu atau ketidak jelasan arti dalam suatu undang-undang akan rentan dengan pelanggaran rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal kebaikan public hendaknya menjadi tujuan legislator dalam membentuk undang-undang .

Undang-undang tidak dapat ditafsirkan hanya dalam bentuk formil untuk menyatakan bahwa seseorang telah melanggar undnag-undang, sebab undang-undang memiliki 2 (dua) arti, yakni; dalam arti formil dan materiil .


B. Kedudukan Undang-undang

Undang-undang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang memiliki kedudukan kedua dalam heirarki peraturan perundangan-undangan setelah undang-undang dasar 1945. Arti penting lahir dan eksisnya suatu undang-undang diungakapkan hans kelsen sebagai berikut; Pembuatan undang-undang merupakan refleksi dari konstitusi, sebab pembentukan undang-undang merupaka pembentukan dan penerapan hukum, yang dalam arti lebih luas adalah penerapana konstitusi.

Dalam Pasal 8 butir (a) dan (b) UU No.10 Tahun 2004, dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar RI dan aturan yang dibuat bedasarkan perintah undang-undang.


C. Lembaga Pembentuk Undang-undang

Menurut Pasal 1 point (2) Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden. Dari Pasal tersebut, jelas bahwa yang berwenang membuat undang-undang adalah Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden.

Artinya, ada undang-undang akan lahir dari kerjasama antara Dewan perwakilan Rakyat dengan Presiden. Salah satunya saja yang berfungsi tidak akan melahirkan undang-undang. Sebab undang-undang akan memiliki kekuatan keberlakuan jika telah memenuhi syarat formiil dan materiil.


D. Teknik Pembuatan Hingga Pengundangan.

Pembentukan undang-undang dapat dilakukan dengan dua system, yakni system lengkap dan system umum. Sistem lengkap adalah undang-undang dibuat dengan pasal-pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan lebih banyak mengarah kehukuman dalam bentuk kodifikasi . Sedangkan, system umum adalah system pembutan undang-undang dengan hanya mengisi pokok-pokoknya saja, pada system umum ini, harus dibuat peraturan pelaksanaan atau aturan yang lebih rendah sebagai rincian atau penafsiran undang-undang umum.

Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Dewan perwakilan Rakyat ataupun presiden. Tidak ada batasan atau keharusan bahwa rancangan harus dari tangan Dewan perwakilan Rakyat. Diatur dalam Pasal 17 bahwa rancangan undang-undang baik berasal dari dewan perwakilan rakyat maupun dari presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Adapun teknik pembuatan undang-undang hingga pengundangannya adalah sebagai berikut :

1. Rancangan undang-undang diajukan kepada dewan perwakilan rakyat
2. Dewan perwakilan rakyat melakukan pembahasan rancangan undang-undang bersama presiden atau menteri yang ditugasi oleh presiden untuk melakukan pembahasan rancangan tersebut.
3. Pembahasan dilakukan dengan tingakta-tingakat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat yang khusus untuk menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
4. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat dan presiden, disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
5. Dalam mengesahkan undang-undang presiden membubuhkan tandatangan pada rancangan yang telah disetujui bersama dalam jangak 30 hari sejak hari persetujuan.
6. Jika dalam jangka tersebut presiden belum menandatangani, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dengan kalimat pengesahan; undang-undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) undang-undang dasar RI Tahun 1945, kalimat tersebut dilampirkan pada halaman belakang undang-undang yang baru disahkan.
7. Untuk selanjutnya undang-undang tersebut wajib diundangkan dengan mencatatkannya dalam lembaran Negara RI. Hal tersebut wajib dilakukan sebab Undang-undang yang belum diundangkan belum memiliki kekuatan keberlakuan.

Tidak terlepas dari teknik pembuatan undang-undang diatas, bahwa keberlakukan undang-undang dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain, diantaranya adalah wibawa Negara yang kerap dipermasalahkan oleh rakyat jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat mendasar terhadap landasan tata hukum yang dijunjung tinggi masyarakat . Wibawa dan integritas Negara disini dapat tercermin dari undang-undang yang dilahirkannya, dengan ukuran sejauh mana undang-undang tersebut memenuhi kebutuhan perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat. Undang- undang yang tidak berpihak pada masyarakat kerap dilanggar oleh masyarakat.

Wallahua'lam Bisshowaab....

Jumat, 15 Mei 2009

TEORI-TEORI KAUSALITAS

Oleh: Setia Darma


Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang saling terkait yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya akibat. Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan dipertanggungjawabkannya suatu akibat tersebut. Dalam hal ini para ahli hukum berbeda pendapat. Berikut adalah teori-teori kausalitas :

1. Teori conditio sine qua non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) ) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.
Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa) ).
Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat ), disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya dianggap kurang memperhatikan hal-hal yang sifatnya kebetulan terjadi ). Selain itu teori ini pun tidak digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat memperluas dasar pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid) .
Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel teori conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk digunakan dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang kesalahan (schuldleer) yang dapat mengkorigir dan meregulirnya ). Teori Van Hamel disebut “teori sebab akibat yang mutlak” (absolute causaliteitsleer) ). Moelyatno menyimpulkan dari pendapat Van Hamel bahwa pada dasarnya Van Hamel sendiri merasa teori conditio sine qua non masih kurang, kecuali jika diimbangi dengan pembatasan (restriksi) yang bisa ditemukan dalam pelajaran tentang kesalahan dan kealpaan. Namun, moelyatno sendiri kurang menyetujui pendapat tersebut, karena dengan menyamaratakan nilai tiap-tiap musabab dan syarat, meskipun hal itu secara logis adalah benar, tapi itu bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan musabab ). Secara teoritis begitulah keadaannya, namun pada prakteknya justru sebaliknya yakni membedakan antara syarat dan musabab.

2. Teori yang menginvidualisir
Teori ini muncul untuk memperbaiki dan menyempurnakan teori conditio sine qua non. Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab secara pandangan khusus (mengindividualisasikan), yakni secara konkrit mengenai perkara tertentu saja, dan karena itu mengambil pendiriannya pada saat sesudah akibatnya timbul (post- faktum) Ada beberapa teori yang termasuk dalam teori ini adalah:

a). teori der meist wirksame bedingung
Teori ini berasal dari Birkmeyer. Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu yang paling banyak berperan untuk terjadinya akibat (meist wirksame) diantara rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Jadi, teori ini mencari syarat yang paling berpengaruh diantara syarat-syarat lain yang diberi nilai.
Teori ini mengalami kesulitan untuk menjawab permasalahan yang muncul yakni, bagaiman cara menentukan syarat yang paling berpengaruh itu sendiri atau dengan kata lain bagaimana mengukur kekuatan suatu syarat untuk menentukan mana yang paling kuat, yang paling membantu pada timbulnya akibat) . Apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis) .

b.Teori gleichewicht atau uebergewicht
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Binding, teori ini mengatakan bahwa musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negative) . Menurut Binding, semua syarat-syarat yang menimbulkan akibat adalah sebab, ini menunjukkan bahwa ada persamaan antara teori ini dengan teori conditio sine qua non.

c. Teori die art des werden
Teori ini dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya (art) menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer) . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan akibat.

d. Teori Letze Bedingung
Dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa factor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan.

3. Teori yang mengeneralisir
Teori ini lahir sebagaiman “teori yang mengindividualisir” lahir, yakni dalam rangka memperbaiki teori Von Buri yang dianggap terlalu luas karena tidak membedakan antara syarat dengan sebab. Sehingga, harus dipilih satu factor saja, yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai sebab. Teori ini mengadakan batasan secara umum yaitu secara abstak, jadi tidak terikat pada perkara yang tertentu saja, dan karena itu juga mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat (ante- faktum).
Ada beberapa teori yang berbeda yang termasuk dalam teori yang mengeneralisir ini. Adapun perbedaan ini berpokok pangkal pada pengertian dari istilah “perhitungan yang normal”) dalam hal penentuan syarat yang dapat diambil sebagai sebab (causa). berikut ini adalah beberapa teori yang mengeneralisir :

a. Teori Adequate (keseimbangan)
Dikemukakan oleh Von Kries. Dilihat dari artinya, jika dihubungkan dengan delik, maka perbuatan harus memiliki keseimbangan dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
Teori ini disebut “teori generaliserend yang subjektif adaequaat”, oleh karenanya Von Kries berpendapat bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat) .

b. Teori objective nachtraglicher prognose (teori keseimbangan yang objektif)
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah factor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi.
Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi, walau bagaimanpun akibat harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan objektif setelah terjadinya delik, ini merupakan tolak ukur logis yang dicapai melalui perhitungan yang normal.

c. Teori adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.

4. Teori Relevantie
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan hubungan sebab akibat tidak mengadakan pembedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak pidana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.

5. Teori perdata
Teori ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 KUHP Perdata (BW),yang menyatakan bahwa “pertanggungjawaban “ hanya ada, apabila akibat yang timbul itu mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapat dibayangkan lebih dahulu. Teori ini boleh dikatakan sama dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa teori perdata ini dapat juga dipergunakan dalam hukum pidana.

Jumat, 24 April 2009

ALAT BUKTI SURAT MENURUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Oleh: Setia Darma



Dalam PTUN, surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis :
1. Akta Autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.

Kekuatan pembuktian akta ini ada tiga macam:

kekuatan pembuktian formiil, mempunyai kekuatan pembuktian antara para pihak bahwa mereka sudah mewenangkan sesuai dengan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

kekuatan pembuktian materiil, membuktian antara para pihak bahwa benar-benar peristiwa yang disebut dalam akta telah terjadi.

kekuatan pembuktian mengikat, membuktikan anatara para pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal tersebut dalam akta telah menghadap kepada pejabat umum dan menerangkan apa yang tertulis dalam akta, karena menyangkut pihak ketiga, disebut memiliki kekuatan mengikat keluar.


2. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.

Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan dianggap sempurna sepanjang kedua belah pihak tidak menyangkal tandatangan yang mereka bubuhkan pada surat tersebut.


3. Surat-surat lain yang bukan akta. surat-surat ini tidak memiliki kekuatan pembuktian, mengenai pengaruhnya pada keyakinan hakim tergantung pada pertimbangan hakim.

Selasa, 14 April 2009

ALAT BUKTI SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA

Oleh: Setia Darma


Bukti surat atau tulisan adalah alat bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tertentu tentang suatu peristiwa, keadaan atau hal-hal tertentu dan ditandatangani, bukti tertulis tersebut lazim disebut akta.
Dengan demikian, bahwa bukti tertulis merupakan :
- suatu tulisan yang berisi keterangan-keterangan tertentu
- ditandatangani
- merupakan dasar sesuatu hak atau perjanjian


Jenis surat

Berdasarkan Pasal 1867 BW, bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan -tulisan autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan. Jadi, akta itu terdiri dari 2 jenis yaitu akta autentik dan akta dibawah tangan.

Akta autentik, yaitu suatu akta dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat. (Pasal 1868 BW). Akta autentik ternagi dua yaitu ;
a. akta yang dibuat oleh pegawai/ pejabat umum
b. akta yang dibuat oleh para pihak yang dihadapan pejabat umumyang berwenang.

Akta autentik merupakan bukti yang sempurna, hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1870 BW, kecuali jika terbukti sebaliknya, bahwa akta autentik tersebut palsu.

Hal lain yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta autentik, yakni ;
1. Apabila yang termuat didalam akta itu sebagai penuturan belaka yang tidak ada hubungannya dengan pokok isi akta, maka hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.
2. Menurut Pasal 1872 BW, jika suatu akta autentik disangka/ diduga palsu, pelaksanaannya dapat ditangguhkan.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tentang suatu peristiwa, kejadian atau hal tertentu dan ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan tersebut.

Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan dapat disimpulkan dari Pasal 1875-1877 BW, bahwa:
a. Apabila isi akta dibawah tangan itu diakui oleh orang yang dimaksud dalam akta itu, bagi orang-orang yang menandatangani dan para ahli warisnya serta orang yang mendapat hak daripadanya merupakan bukti yang sempurna seperti akta autentik
b. Apabila tanda tangan yang tertera didalam akta dibawah tangan itu diakui oleh para pihak, akta itu memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Jika, tandatangan tersebut dipungkiri/ tidak diakui , hakim memerintahkan supaya kebenaran akta tersebut diperiksa.

Surat lain bukan akta dan salinan, Berdasarkan Pasal 1881 BW, kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta adalah ditangan hakim untuk mempertimbangkan. Sedangkan, kekuatan pembuktian dari salinan suatu akta asalkan sesuai dengan aslinya adalah mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta aslinya (Pasal 1888 BW).

Senin, 13 April 2009

ALAT BUKTI SURAT MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

Oleh: Setia Darma


Pengertian dari surat menurut hukum acara pidana tidak secara definitive diatur dalam satu pasal khusus, namun dari beberapa pasal dalam KUHAP tetang alat bukti surat, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat adalah) alat bukti tertulis yang harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.


Ada bebrapa jenis surat dalam hukum acara pidana, tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut :
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat / dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu, contoh : Akta Notaries, Akta jual beli oleh PPAT dan Berita acara lelang
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnyadan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan, contoh ; BAP, paspor, kartu tanda penduduk dll.
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara respi darinya, contoh ; visum et revertum. Walaupun sering dikategorikan sebagai keterang ahli, namun visum et revertum juga dapat merupakan alat bukti surat, hal ini oleh yahya harahap disebut sifat dualisme alat bukti keterangan ahli) .
Walaupun banyak perpedaan pendapat mengenai visum et revertum ini, namun tidak mempengaruhi niali pembuktiannya sebagai alat bukti sah dipengadilan, baik ia sebagai alat bukti surat maupun keterangan ahli, yang jelas visum et revertum tidak dapat dihitung sebagai dua alat bukti.
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain, contoh ; surat-surat dibawah tangan.


Selain jenis surat yang disebut pada pasal 187 KUHAP, dikenal 3 (tiga) macam surat, sebagai berikut :
1. Akta autentik, adalah suatu akte yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di wilayah yang bersangkutan.
2. Akta dibawah tangan, yakni akte yang tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti.
3. Surat biasa, yakni surat yang dibuat bukan untuk dijadikan alat bukti.


Nilai pembuktian surat

Bahwa surat resmi/surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang pengadilan merupakan alat bukti surat sedangkan surat biasa mempunyai nilai pembuktian alat bukti petunjuk jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat bukti sah lain.


Kekuatan pembuktian surat

Alat bukti surat resmi/autentik dalam perkara pidana berbeda dengan perdata. Memang isi surat resmi bila diperhatikan dari segi materilnya berkekuatan sempurna, namun pada prakteknya terdakwa dapat mengajukan bukti sangkalan terhadap akta autentik tersebut.
Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudak terbukti kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bulkti lainnya.


CU On: alat bukti surat menurut Hukum acara perdata dan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Sabtu, 11 April 2009

ALAT BUKTI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Oleh: Setia Darma


Alat Surat merupakan salah satu alat bukti sah yang dapat dipergunakan dalam pembuktian di persidangan. Dalam pembuktian perkara pidana, perdata dan tata usaha Negara ketiganya mengenal alat bukti surat sebagai salah satu alat bukti sah, namun alat bukti surat dalam ketiga peradilan tersebut tidak memiliki urutan yang sama menurut hukum acara masing-masing.


Dalam pembuktian perkara pidana alat bukti surat ada pada urutan ketiga, sesuai isi Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah adalah :
a. keterangan saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Berbeda dengan dalam pembuktian perkara pidana, dalam pembuktian perkara perdata surat menempati urutan pertama, dalam Pasal 164 HIR dan 1866 BW dinyatakan alat bukti yang sah adalah :
a. Bukti tulisan / Surat
b. Bukti dengan saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah


Mengenai alat bukti dalam perkata tata usaha Negara diatur dalam Pasal 100 UU No. 9 Tahun 2004 tentang peradilan tata usaha Negara, dinyatakan bahwa yang merupakan alat bukti :
a. Surat atau tulisan
b. Keterangan ahli
c. Keterangan saksi
d. Pengakuan para pihak
e. Pengetahuan hakim


Demikian alat bukti menurut kitab Undang-undang hukum Pidana, perdata dan Tata Usaha negara. Lebih lanjut, akan saya tulis mengenai kekutan alat bukti surat dalam beberapa undang-undang tersebut. CU

Sabtu, 04 April 2009

ATURAN ITU PENTING

oleh: Setia Darma

Hukum ada sejak manusia ada, ubi society ibi ius adalah bahasa lainnya. Pernyataan tersebut secara sederhana ingin mengungkapkan bahwa eksisnya hukum seiring dengan eksistensi manusia dan perkembangannya seiring dengan perkembangan pemikiran manusia.
Dalam kehidupannya individu sebagai makhluk social memiliki kepentingan-kepentingan individual yang cenderung akan lebih diutamakan. Namun, bagaimanapun bentuknya kepentingan tersebut selalu harus memiliki aturan untuk tidak melanggar kepentingan individu lain atau kepentingan social. Untuk itu, dalam kehidupan masyarakat diperlukan aturan yang jelas, tegas dan terperinci untuk mampu melindungi kepentingan social diatas kepentinan individu.
Tidak terlepas dari hal diatas, manusia berkembang pesat seiring waktu. Artinya, hukumpun harus menyeimbangkan diri untuk tetap eksis mendampingi manusia dalam bermasyarakat. Berbagai keadaan, perubahan, perkembangan menuntut untuk lahirnya aturan-aturan baru untuk menjadi pedoman, pembatas, pengawas pasif tiap tindakan manusia untuk tidak lepas dari koridor yang ditentukan oleh Negara.
Aturan yang disebutkan diatas, di Indonesia dari beberapa bentuk, salah satunya adalah undang-undang yang merupakan aturan tertulis yang dilahirkan oleh pemerintah untuk mengatur masyarakat agar berlaku dan bertindak sesuai ketentuan Negara serta tidak bertentangan dengan tujuan Negara secara umum.
Undang-undang merupakan aturan tertulis yang lebih sering tertinggal dari perkembangan pemikiran manusia, bahkan seiring tertinggal dari perkembangan bentuk dan modus kejahatan baru dalam masyarakat. Keadaan yang tidak mungkin kita pungkiri, bahwa undang-undang tidak dapat berkembang otomatis seiring perkembangan manusia layaknya pemikiran ataupun bentuk dan modus kejahatan yang berkembang otomotis mengikuti gerak langkah manusia.
Undang-undang harus lahir dari proses panjang yang bersyarat. Artinya, undang-undang tidak dapat lahir tanpa melalui proses dengan segala syarat dan ketentuan yang ada yang menjadi syarat mutlak untuk memiliki kekuatan hukum dalam keberlakuannya.

Kamis, 02 April 2009

TENTANG TEORI KAUSALITAS

Oleh: Setia Darma


Setiap perbuatan menimbulkan akibat, baik akibat secara langsung maupun tidak langsung. Namun, tidak semua akibat menimbulkan hukum tertentu atau dengan kata lain tidak semua perbuatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum bisa ditimbulkan oleh satu perbuatan atau satu delik dan bisa juga ditimbulkan oleh beberapa perbuatan atau serangkaian perbuatan yang saling berhubungan dan saling mendukung untuk terjadinya suatu akibat. Misal:


L hamil diluar nikah dengan N, karena N tidak mau bertanggung jawab, maka L memutuskan untuk menggugurkan kandungannya kepada S yakni seorang bidan didaerahnya. Karena pendarahan hebat usai menggugurkan kandungannya, L dibawa kerumah sakit. Sesampai dirumah sakit, dokter yang seharusnya menolong L sedang mengisi sebuah seminar diluar lingkungan rumah sakit tersebut, sehingga L kehabisan darah dan mati.


Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat.

Suatu akibat yang dilarang dalam KUHP harus ditentukan sebabnya dan dimintai pertanggung jawabannya, oleh karena itu antara sebab dan akibat yang ditimbulkan haruslah memiliki hubungan kausal yang jelas, sehingga bisa dibuktikan bahwa akibat hukum yang terjadi benar-benar disebabkan oleh perbuatan pelaku yang dimintai pertanggung jawabannya

Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit dipecahkan. Didalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut pasal 338 KUHP tersebut.

Teori kausalitas atau ajaran sebab akibat, tidak hanya mengajarkan tentang kausalitas pada delik komisi, tapi juga mengajarkan kausalitas pada delik omisi.

Kausalitas disebut juga hubungan sebab akibat, dimana setiap akibat yang muncul harus ditentukan sebab dari akibat tersebut, yakni sebab yang memiliki hubungan kausal dengan akibat. Sehingga, bisa dimintai pertanggung jawabannya pada si pelaku.
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana”, setiap kejadian alam maupun kejadian social tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah rangkaian akibat dari peristiwa lain maupun social yang telah terjadi sebelumnya. Setiap peristiwa social menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya, yang satu mempengaruhi yang lain, sehingga merupakan rangkaian sebab akibat.
Jadi, hubungan kausal yang ada, yang saling terkait dan saling mempengaruhi itulah yang yang disebut dengan kausalitas atau hubungan sebab akibat.

Untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana yang bisa dimintai pertanggung jawabannya, diperlukan ajaran sebab akibat. Dimana ajaran sebab akibat sangat berperan dalam hal menentukan unsur perbuatan yang menimbulkan akibat. Sehingga, dapat ditentukan hubungan antara akibat tertentu dengan perbuatan orang yang menimbulkan akibat. Dengan demikian, bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana dan dituntut untuk dipertanggung jawabkan kepadanya.
Jadi, tujuan ajaran sebab akibat (causaliteitsleer) adalah :
1. Untuk menentukan hubungan antara sebab – akibat, yang berarti menentukan adanya atau tidak adanya tindak pidana.
2. Untuk menentukan pertanggung jawaban seseorangatas suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana.

Demikian sekilas tentang teori kausalitas dalam hukum. Semoga jika ada kesempatan, akan saya uraikan sedikit mengenai macam2 teori kausalitas.

SEKILAS TENTANG ETIKA

Oleh: Setia Darma


Etika merupakan perangkat penting dalam kehidupan manusia. Jika diibaratkan manusia adalah computer, maka kedudukan etika adalah sebagai anti virus yang menjaga computer untuk tetap bekerja dengan fungsinya tanpa merusak program atau data yang telah ada dan akan ada.
Etika hanyalah barang abstrak, tidak memiliki ukuran fisik atau bentuk konkrit lainnya, namun bukan berarti etika tidak mampu teridentifikasi, etika adalah sistem nilai dalam kehidupan, yang lahir dari fikiran manusia yang terbentuk menjadi karakter untuk selanjutnya akan tercermin dalam setiap tindakan dan langkah-langkahnya dalam pergaulan.
Etika tidak jarang diartikan sama dengan moral, padahal keduanya berbeda. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa etika dalam arti sempit dan moral sama-sama memiliki pengertian harfiah sebagai ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’ dan keduanyapun sama-sama merupakan system nilai. Namun, jika diartikan dan dibahas lebih lanjut, etika dan moral memiliki pengertian yang sangat berbeda.
Etika memiliki pengertian luas sebagai filsafat moral, yang merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia serta mengenai masalah –masalah kehidupan manusia yang mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.
Sebagai kajian kritis, etika kemudian mendasari banyak profesi dalam kehidupan manusia sebab etika lebih dapat dipertanggungjawabkan dari sekedar moral yang terkadang hanya lahir dari kebiasaan masyarakat atau penduduk, sangat berbeda dari etika yang eksis karena sebuah kajian yang rasional.

Etika tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat dipaksakan keberlakuannya. Namun, sebagai sistem nilai, tentu Etika memiliki peranan penting sebagai pedoman dalam bertindak. Semua profesi setidaknya harus memiliki etika, sepeti: hakim, advocat, jaksa dan/atau PU, polisi, dokter, artis dll. Pada umumnya, pada setiap profesi tersebut etika profesi mereka dirangkumkan kode etik profesi, tentu setiap profesi memiliki kode etik yang berbeda, walaupun secara umum memiliki maksud dan tujuan yang sama.

Walaupun etika tidak dapat dipaksakan, namun individu yang memiliki tanggungjawab moral yang besar akan menjadikan kode etik profesinya sebagi anti virus dalam pelaksanaan tugasnya. Semoga setiap Profesional memiliki etika dan tanggungjawab moral besar dalam profesinya masing-masing, demi Indonesia dan masyarakat indonesia yang lebih baik dan lebih membanggakan. Amiiin.

Kamis, 26 Maret 2009

HUKUM "ABORSI" MENURUT ISLAM

Oleh: Setia Darma


1. Pengertian Aborsi
Aborsi dalam bahasa Arab disebut “ijhadh”, yang memiliki beberapa sinonim yakni; isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan)) . Aborsi secara terminology adalah keluarnya hasil konsepsi (janin, mudgah) sebelum bisa hidup sendiri (viable) ) atau Aborsi didefenisikan sebagai berakhirnya kehamilan, dapat terjadi secara spontan akibat kelainan fisik wanita / akibat penyakit biomedis intenal atau sengaja melalui campur tangan manusia) .
Dari defenisi diatas, bisa disimpulkan bahwa tidak semua aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral dan kemanusiaan dengan kata lain tidak semua aborsi merupakan kejahatan. Aborsi yang terjadi secara spontan akibat kelainan fisik pada perempuan (Ibu dari janin) / akibat penyakit biomedis internal disebut “keguguran”, yang dalam hal ini tidak terjadi kontroversi dalam masyarakat atau dikalangan fuqaha, sebab dianggap terjadi tanpa kesengajaan dan terjadi diluar kehendak manusia.

Berbeda dengan aborsi yang disengaja atau akibat campur tangan manusia, yang jelas-jelas merupakan tindakan yang “menggugurkan” yakni; perbuatan yang dengan sengaja membuat gugurnya janin. Dalam hal ini, menggugurkan menimbulkan kontroversi dan berbagai pandangan tentang “boleh” dan “tidak boleh” nya menggugurkan kandungan.


2. Alasan dilakukannya Aborsi
Banyak dalih yang dijadikan alasan untuk melakukan aborsi, beberapa alasan tersebut antara lain:
a. Terdapat kemungkinan janin lahir dengan cacat yang diturunkan secara genetic). Penyakit kelainan genetic biasanya disebut “down syndrome”, yang diturunkan melalui gen orang tuanya. Pada umumnya ini terjadi karena kedua orang tuanya bersaudara artinya mereka memiliki hubungan famili dekat, sehingga kemungkinan besar memiliki gen bawaan yang sama yang ketika dikawinkan akan melahirkan kelainan genetic.
Alasan diatas bukanlah alasan yang bisa diterima, sebab pencegahan sesuatu bukanlah dari buahnya, melainkan dari akarnya. Artinya, bukan janin itu yang harus digugurkan, tapi perkawinan antar saudaralah yang harus dicegah. Dalam sebuah hadist Rosulallah SAW bersabda : “Nikahilah suku yang jauh (bukan famili) untuk menghindari keturunan yang lemah. Dan anak-anak muda, jika engkau mampu menikah, menikahlah!”.

b. Ditakuti atau dicurigai adanya cacat bawaan lahir). Retardasi mental (keterbelakangan mental), yang dibawa sejak lahir banyak ditimbulkan oleh kebiasaan si Ibu mengkonsumsi alcohol. Maka, jelas kebiasaan Si Ibulah yang harus diubah dan dibenarkan, bukan janin yang harus digugurkan.

c. Suatu diagnosis kandung kemih terhadap janin menunjukkan adanya kelainan parah yang tidak sesuai dengan kehidupan seperti kehilangan penglihatan atau kerusakan otak. Hal ini disebabkan oleh Ibu yang mememiliki penyakit STD (Penyakit kelamin menular), penyakit kelamin menular ditimbulkan dari hubungan yang berganti-ganti pasangan. Mengugurkan kandungan dengan alasan inipun tidak dibenarkan.

Semua alasan diatas, merupakan kesimpulan dari angket Asosiasi kesehatan Afrika selatan kepada dar al-Ifta’ di Riyadh, arab Saudi, yang membuat lahirnya fatwa dari dar al-ifta’ bahwa tindakan aborsi dengan alasan janin cacat tidak dibolehkan) .

Ada dua alasan lain yang dikemukakan oleh yayasan kesehatan perempuan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dalam hal menyuarakan perlunya legalisasi aborsi diIndonesia melalui RUU perubahan UU No. 23/1992.

Pertama, demi mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) akibat aborsi yang tidak aman/illegal oleh tenaga-tenaga medis yang tidak memiliki kualifikasi yang memadai yang sering menimbulkan kematian. Maka, aborsi yang tidak aman harus diubah menjadi aborsi yang aman (safe abortion) yang dilakukan oleh tenaga medis yang professional bukan oleh tenaga medis yang tidak professional) Oleh karena itu menurut mereka, aborsi harus diatur dalam UU, termasuk yang boleh membantu melakukan aborsi seperti: dokter-dokter yang khusus, yang terkualifikasi untuk melalukan aborsi agar tidak menimbulkan kematian.

Yang menjadi permasalahan seharusnya bukanlah yang membantu melakukan aborsi/ terkualifikasi atau tidaknya pembantu pelaku aborsi, tapi “Aborsi” itu sendiri, yang jelas-jelas melanggar hak si janin untuk hidup dan terlahir sebagai manusia. Selain itu dipandang dari sudut Moral, aborsi adalah perbuatan amoral yang seharusnya tidak dibolehkan dan tidak dilegalisasi. Dalam islam, konsep safe abortion adalah batil, sebab aborsi tetap haram walaupun aman) .

Kedua, yang menjadi alasan perlunya aborsi dilegalkan adalah kebutuhan untuk adanya alternative bagi warga Negara dalam menghadapi masalah kehamilan yang tidak diinginkan. M.Siddiq Al-jawi menyatakan dalam seminar tersebut bahwa alasan kedua yang dikemukakan tersebut merupakan alasan amoral, sebab hal tersebut sama artinya dengan mendukung perzinaan. Dikatakan oleh beliau bahwa setiap suami-istri lazimnya mengharapkan keturunan, itu artinya mereka mengharapakan adanya kehamilan. Lalu bagaiman dengan kehamilan yang tidak diinginkan?, jawabannya adalah kehamilan tersebut karena adanya hubungan diluar nikah (zina), yang jelas sangat tidak mengharapkan kehamilan. Apapun dalihnya, yang dinyatakan sebagai alasan kedua perlunya legalisasi aborsi, sangat bertentangan dengan islam yang mengharamkan perzinaan.
firman Allah SWT dalam QS.Al-Isra':32 yang artinya:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk".


3. Tahapan Janin
Istilah janin dalam bahasa arab secara harfiah berarti sesuatu yang diselubungi atau ditutupi, dari arti tersebut memiliki makna bahwa janin berada pada tempat terselubung dan terbentuk disana, yakni dalam rahim seorang wanitadari saat pembuahan samapi mada masa kelahiran.

Allah SWT berfirman dalam Al-qur'an yang Artinya:
"orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa".( QS. An-najm: 32)

Secara hukum ada 3 (tiga) pendapat tentang definisi janin, yaitu ) :
a) Janin artinya sesuatu yang berada dalam rahim.
b) Imam syafi’i menyatakan bahwa janin adalah ketika tahapan mudghah (gumpalan darah) dengan ‘alaqoh (sesuatu yang melekat) sudah dapat dibedakan.
c) Al-Nuwayri berpendapat, Istilah janin digunakan bagi sesuatu yang terdapat dalam rahim yang telah dihembuskan ruh padanya.

Analisis Ilmiah mengenai tahapan janin
Menurut analisi Ilmiah, tahap pertama dari janin adalah “zigot”, yakni ovum yang telah dibuahi sperma dalam saluran telur wanita (falopi) selama tiga hari. Selanjutnya akan terjadi pembelahan sel dengan cepat yang disebut “blastosis” atau dikenal juga dengan istilah penanaman dalam rahim, ini merupakan tahap kedua. Tahap ketiga, terbentuknya “embrio”, terjadi setelah 2 (dua) minggu dari proses pembuahan, pada tahap embrio ini terjadi pembedaan organ. Kemudian, menjelang minggu keenam akan terjadi penyempurnaan semua organ internal yang belum sempurna. Tahap akhir adalah “janin”, yang akan terbentuk setelah 8 (delapan) minggu samapi masa kelahiran .

Tahapan janin menurut analisis Al-Qur’an

Tahapan janin dalam Al-Qur’an, dijelaskan berkali-kali oleh Allah dalam Firman-Nya yang maha suci dan maha benar, Firman tersebut tertuang dalam ayat-ayat berikut, antara lain:
1). Terdapat dala Al-qur'an sebagai berikut:

"(12). Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah, (13). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani dalam tempat yang kokoh, (14). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik". (QS. Al-mu’minun : 12-14)

2). Allah berfirman, yang Artinya:
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan , maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS. Al-Hajj: 5)

3). Terdapat dalam Al-qur'an:
"Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah(7). Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina(8)". (QS. As-sajdah :7-8)

4).terdapat dalam QS.At-Tariq: 5-7:
"(5).Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, (6).Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, (7). yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan"

5). Firman Allah SWT:
(37).Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan, (38). kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, (QS.Al-Qiyamah: 37-38).

6). Firman Allah SWT:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya , karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat (QS. Al-Insaan: 2).


4. Hukum Aborsi dalam Islam
Para ulama (para fuqaha) sepakat bahwa pengguguran janin sesudah ditiupkan ruh adalah haram. Namun, dalam hal janin yang belum ditiupkan ruh mengenai penggugurannya, para fuqaha berbeda pendapat, ada yang membolehkan, ada berpendapat mubah dan ada yang mengharamkan. Dalam hal ini, penulis hanya akan membahas pendapat para fuqaha yang mengharamkan aborsi.

Tentang ini Al-Qur'an menguraikan:
"Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu yang benar ". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami" (QS. Al-An’am : 151).

Firman Allah SWT yang artinya:
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah , melainkan dengan suatu yang benar . Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan (QS. Al- Israa’ :33).


Kata “la taqtulu” berasal dari kata “qatala”, yang artinya janganlah kamu membunuh. Tapi, dalam bahasa Arab “qatala” memiliki beberapa makna :
a) “jadikanlah ia seperti orang yang terbunuh dan mati”
b) “batalkanlah dan jadikanlah seperti orang yang sudah mati”
c) “menghilangkan”
Jika dipakai arti “menghilangkan” dan “membatalkan” yang kedua kata tersebut bersinonim, maka surat Al-An’am dan Al-Israa’ tersebut dapat diartikan: “dan janganlah kamu menghilangkan jiwa yang Allah telah haramkan (mengharamkannya), melainkan dengan (jalan) hak”.
Aborsi (menggugurkan), bermakna menghilangkan dari rahim. Karena itu, aborsi bisa dimasukkan kedalam ayat tersebut.

Firman Allah SWT yang artinya:
Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi (QS. Al-Maidah: 32).

Firman Allah SWT yang artinya:
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar (QS. Al-Israa’ : 31).
Dalam dua ayat Al-Qur’an tersebut, tidak secara kontekstual dikatakan tentang pelarangan aborsi. Namun, yang jelas dilarang adalah membunuh seorang manusia. Jika dianalogikan bahwa janin yang belum ditiupkan ruh adalah salah satu tahap sebelum terlahirnya manusia, bahkan memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk terbentuknya manusia, maka pengguguran janinpun termasuk perbuatan yang dilarang.
Hukum islam menganut adanya analogi. Ketika seorang wanita sedang hamil, maka suaminya tidak bisa dan tidak sah menceraikannya, tanpa memperhatikan apakah janinnya sudah 4 (empat) bulan atau belum. Itu artinya bahwa “janin”, sudah ditiupkan ruh ataupun belum sama pentingnya dan wajib untuk dipertahankan, hingga terbentuk manusia baru.

Allah SWT berfirman, yang artinya:
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Mumtahanah: 12).

Ibnu Hajar dalam kitabnya “Al-Tuhfah”, Al-Ghazali dalam kitabnya “ihya’ ulumuddin” dan Syech Mahmud Syaltut dalam kitabnya “fatwa”, mengharamkan pengguguran, walaupun ruh belum ditiupkan). karena menurut mereka, ketika sudah dibuahi maka sudah ada kehidupan yang patut dihormati. Pada dasarnya ketika janin masih berupa zigot (nutfah), itu sudah merupakan masa perkembangan janin, jika digugurkan maka hal tersebut merupakan jinayat (tindak pidana), sesuai dengan hasil MUNAS MUI tahun 1983, yang menyatakan bahwa kehidupan dalam konsep islam adalah suatu proses yang sudah dimulai sejak masa pembuahan.) .
Yang membedakan antara pengguguran sebelum ditiupkan ruh dengan pengguguran sesudah ditiupkan ruh hanyalah hukuman yang dikenakan terhadap pelaku pengguguran tersebut.

Dalam menentukan waris, janin diperhitungkan sebagai Sesuatu yang akan terlahir sebagai manusia, sehingga pembagian waris ditunda demi menunggu kelahiran janin. Walaupun tidak bisa dipastikan apakah ia akan selamat atau tidak, yang jelas tidak ada ketentuan apakah janin tersebut harus sudah memiliki ruh atau belum. Artinya, bahwa janin sejak dia berada dalam rahim ibunya pada fase apapun, sudah dianggap sebagai calon manusia yang harus dipertahankan keberadaannya dan haram untuk digugurkan.

Ibn ‘Abidin menyatakan bahwa janin yang tidak mengeluarkan suara pada saat lahir harus dimandikan (ghusl), diberi nama, dibungkus dalam selembar kain kafan dan dikubur, tapi tidak dibacakan do’a. Hal ini dilakukan baik pada janin yang sudah sempurna ataupun belum) .

Dikatakan diatas, bahwa “…janin yang sudah sempurna ataupun belum”. Pada janin yang belum sempurna berarti masih pada fase “embrio”, yakni mulai minggu ke-2 (dua) sampai menjelang minggu ke-6 (enam) masa kehamilan, yang dalam analisis Qur’an masih dalam fase “’alaqoh”, yakni setelah 40 hari pertama. Artinya, janin tersebut belum ditiupkan ruh.

Jika, janin yang belum ditiupkan ruh diharuskan untuk diperlakukan layaknya seorang bayi, berarti janin yang berada dalam rahim seorang perempuan, baik sudah memiliki ruh ataupun belum, tidak boleh dan haram untuk digugurkan. Sebab, janin tersebut sudah dianggap sebagai seorang bayi.

Menurut imam Abu hanifah dan Imam Syafi’i, pelaku dibebani pertanggung jawaban atas sesuatu yang keluar dari rahim seorang perempuan, apabila sesuatu itu telah jelas bentuknya walaupun belum lengkap (belum sempurna)) . Menurut pernyataan diatas, pengguguran janin yang belum sempurna menuntut pertanggung jawaban bagi pelakunya. Janin yang belum sempurna adalah fase embrio, fase dimana ruh belum ditiupkan terhadap janin tersebut. Pengguguran difase ini, menuntut adanya pertanggung jawaban, hal tersebut mengimplikasikan bahwa pengguguran janin walaupun belum ditiupkan ruh adalah suatu tindak kejahatan (jinayah). setiap tindak kejahatan dilarang dan diharamkan dalam islam.

Dalam balaghah As-Salih, dinyatakan bahwa menggugurkan janin dengan pukulan atau terror dengan tanpa alsan syari’at atau mencium bau-bauan seperti suntikan/ terbukanya toilet meskipun janin masih berupa ‘alaqoh, merupakan kejahatan) .
Mengenai keadaan darurat, karena untuk menyelamatkan ibu si janin dengan alasan medis, si janin harus digugurkan. Dinyatakan oleh Oleh Ibn ‘Abidin hasyisyahnya, ketika beliau berkomentar tentang kasus: “sekiranya kelangsungan hidup ibu dikhawatirkan bila kehamilan terus berlangsung dan diperkirakan bahwa dengan menggugurkannya janin, dapat menjaga hidup si ibu”, beliau berkomentar menggugurkan dengan alasan tersebut tidak boleh, jika janin dalam keadaan hidup. Sebab, kematian si ibu yang disebabkan janin hanyalah dugaan. Sedangkan menurut beliau membunuh anak adam dalam keadaan hidup hanya karena sesuatu yang bersifat dugaan adalah tidak boleh) .

Hal tersebut ditegaskan oleh nukilan Ar-ra’iq dari Annawawir yang menyatakan, “menghidupkan satu jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak diajarkan dalam syari’at”) .
Dalam masa sekarang ini, perkembangan alat-alat kedokteran semakin pesat, indikasi-indikasi medis yang dijadikan alasan untuk melegalkan aborsi semakin langka ditemukan) . Hal tersebut berarti Alasan medis sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan alasan melegalkan aborsi.

"KESALAHAN" MENURUT HUKUM PIDANA


Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan Remmelink mendefinisikan: “Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat- yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu- terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya”, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang dicela oleh umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink yakni berperilaku dengan menghindari egoisme yang tidak dapat diterima oleh kehidupan dalam masyarakat.

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Artinya, untuk dapat dipidananya suatu perbuatan diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri pembuat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atasnya. Chairul Huda yang melihat kesalahan secara normati menyatakan: “Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya ia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tiga komponen utama, yaitu: ‘dapat dicela’, ‘dilihat dari segi masyarakat’ dan ‘dapat berbuat lain’.”

‘Dapat dicela’ suatu perbuatan dapat diartikan sebagai ‘dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana’ dan ‘dapat dijatuhi pidana’. Arti pertama merupakan kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana dan arti yang kedua dalam hubungannya dengan fungsi represif dalam hukum pidana. Dapat dicelanya pembuat bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidana yang diteruskan secara subyektif sebagai celaan terhadap pembuat. Dalam hal ini celaan terhadap tindak pidana tidak terikat pada moral yang berarti dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, Negara tidak terikat pada sistem moral yang ada dalam masyarakat, tidak terikat pada pandangan ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’ yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat sebagai ukuran ‘moral’ dan ‘tidak moral’. Walaupun lepas dari system moral yang ada dalam masyarakat, namun sebagi perbuatan tercela, pada hakikatnya tindak pidana selalu merupakan perbuatan yang secara moral dicela.

Selanjutnya untuk dinyatakan bersalah, suatu perbuatan harus dipandang dari segi masyarakat. Diuraikan oleh Chairul Huda sebagai berikut:

“’dilihat dari segi masyarakat’ merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Pada subjek hukum manusia, ‘ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan sebagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan”…….”.

Persoalannya justru pada ‘penilaian normatif’ terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan tindak pidananya, sedemikian rupa sehingga orang itu ‘dapat dicela’ karena perbuatan tadi.Dengan kata lain sepanjang subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat. Jadi bukan psikologis yang penting, tetapi penilai normatif terhadap keadaan psikologis pembuat. Memang pengertian kesalahan normatif mengandung di dalamnya pengertian psikologis”.

‘Dapat berbuat lain’ dapat diartikan sebagai adanya pilihan bagi pembuat untuk ‘berbuat’ atau ‘tidak berbuat’ suatu perbuatan yang oleh hukum dicela. Pilihan ini menunjukkan adanya kemungkinan bagi pembuat untuk berbuat lain dan menghindari terjadinya tindak pidana, artinya ada kemungkinan untuk dapat menghindari perilaku menyimpang yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. “kemungkinan dapat dihindari (terjadinya) perilaku menyimpang merupakan lapis pertama untuk menetapkan kesalahan…”. Perlu diingat, bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang melaku kesalahan. Artinya, kesalahan adalah unsur penting dalam pertanggungjawaban pidana, tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.



Ref:

[1] Remmelink, Jan. Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum pidanaBelanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003. Hal. 142

[3] Huda, Chairul. “Dari “Tiada pidana tanap Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”; Tinjauan Kritis Terhadap Teori PemisahanTindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Pranada Media. 2006. Hal. 74