Entri Populer

Sabtu, 30 Mei 2009

TEKNIK PEMBUATAN UNDANG-UNDANG

Oleh: Setia Darma



A. Pengertian

Teknik adalah tata cara yang sistematis dengan didahului dengan perencaan dan perhitungan yang matang. Sedangkan, pembuatan undang-undang adalah suatu tindakan terencana yang bertujuan untuk membuat undang-undang. Jadi, teknik pembuatan undang-undang adalah Suatu tindakan yang sistematis dengan tata cara tertentu yang didahului oleh suatu perencanaa dan perhitungan yang matan untuk membuat undang-undang.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa undang-undang dibentuk melalui suatu proses pemikiran dan perencanaan yang matang. Walaupun telah melalui perencanaan yang matang, namun bukan berarti membuat undang-undang tidak memiliki banyak kendala, sebab membuat rancangan undang-undang sebelum menjadi undang-undang adalah pekerjaan yang sulit. Menurut Pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.

Undang-undang menuntut kesempurnaan dalam arti susunan, bahasa, istilah dan sebagainya agar tidak timbul ambigu dalam penerapannya. Ambigu atau ketidak jelasan arti dalam suatu undang-undang akan rentan dengan pelanggaran rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal kebaikan public hendaknya menjadi tujuan legislator dalam membentuk undang-undang .

Undang-undang tidak dapat ditafsirkan hanya dalam bentuk formil untuk menyatakan bahwa seseorang telah melanggar undnag-undang, sebab undang-undang memiliki 2 (dua) arti, yakni; dalam arti formil dan materiil .


B. Kedudukan Undang-undang

Undang-undang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang memiliki kedudukan kedua dalam heirarki peraturan perundangan-undangan setelah undang-undang dasar 1945. Arti penting lahir dan eksisnya suatu undang-undang diungakapkan hans kelsen sebagai berikut; Pembuatan undang-undang merupakan refleksi dari konstitusi, sebab pembentukan undang-undang merupaka pembentukan dan penerapan hukum, yang dalam arti lebih luas adalah penerapana konstitusi.

Dalam Pasal 8 butir (a) dan (b) UU No.10 Tahun 2004, dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar RI dan aturan yang dibuat bedasarkan perintah undang-undang.


C. Lembaga Pembentuk Undang-undang

Menurut Pasal 1 point (2) Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden. Dari Pasal tersebut, jelas bahwa yang berwenang membuat undang-undang adalah Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden.

Artinya, ada undang-undang akan lahir dari kerjasama antara Dewan perwakilan Rakyat dengan Presiden. Salah satunya saja yang berfungsi tidak akan melahirkan undang-undang. Sebab undang-undang akan memiliki kekuatan keberlakuan jika telah memenuhi syarat formiil dan materiil.


D. Teknik Pembuatan Hingga Pengundangan.

Pembentukan undang-undang dapat dilakukan dengan dua system, yakni system lengkap dan system umum. Sistem lengkap adalah undang-undang dibuat dengan pasal-pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan lebih banyak mengarah kehukuman dalam bentuk kodifikasi . Sedangkan, system umum adalah system pembutan undang-undang dengan hanya mengisi pokok-pokoknya saja, pada system umum ini, harus dibuat peraturan pelaksanaan atau aturan yang lebih rendah sebagai rincian atau penafsiran undang-undang umum.

Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Dewan perwakilan Rakyat ataupun presiden. Tidak ada batasan atau keharusan bahwa rancangan harus dari tangan Dewan perwakilan Rakyat. Diatur dalam Pasal 17 bahwa rancangan undang-undang baik berasal dari dewan perwakilan rakyat maupun dari presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Adapun teknik pembuatan undang-undang hingga pengundangannya adalah sebagai berikut :

1. Rancangan undang-undang diajukan kepada dewan perwakilan rakyat
2. Dewan perwakilan rakyat melakukan pembahasan rancangan undang-undang bersama presiden atau menteri yang ditugasi oleh presiden untuk melakukan pembahasan rancangan tersebut.
3. Pembahasan dilakukan dengan tingakta-tingakat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat yang khusus untuk menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
4. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat dan presiden, disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
5. Dalam mengesahkan undang-undang presiden membubuhkan tandatangan pada rancangan yang telah disetujui bersama dalam jangak 30 hari sejak hari persetujuan.
6. Jika dalam jangka tersebut presiden belum menandatangani, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dengan kalimat pengesahan; undang-undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) undang-undang dasar RI Tahun 1945, kalimat tersebut dilampirkan pada halaman belakang undang-undang yang baru disahkan.
7. Untuk selanjutnya undang-undang tersebut wajib diundangkan dengan mencatatkannya dalam lembaran Negara RI. Hal tersebut wajib dilakukan sebab Undang-undang yang belum diundangkan belum memiliki kekuatan keberlakuan.

Tidak terlepas dari teknik pembuatan undang-undang diatas, bahwa keberlakukan undang-undang dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain, diantaranya adalah wibawa Negara yang kerap dipermasalahkan oleh rakyat jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat mendasar terhadap landasan tata hukum yang dijunjung tinggi masyarakat . Wibawa dan integritas Negara disini dapat tercermin dari undang-undang yang dilahirkannya, dengan ukuran sejauh mana undang-undang tersebut memenuhi kebutuhan perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat. Undang- undang yang tidak berpihak pada masyarakat kerap dilanggar oleh masyarakat.

Wallahua'lam Bisshowaab....

Jumat, 15 Mei 2009

TEORI-TEORI KAUSALITAS

Oleh: Setia Darma


Suatu akibat tertentu terkadang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan yang saling terkait yang menjadi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya akibat. Yang menjadi permasalahan adalah kepada siapa akan dipertanggungjawabkannya suatu akibat tersebut. Dalam hal ini para ahli hukum berbeda pendapat. Berikut adalah teori-teori kausalitas :

1. Teori conditio sine qua non
Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) ) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.
Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat, dengan demikian teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa) ).
Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat ), disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli hukum, sebab teorinya dianggap kurang memperhatikan hal-hal yang sifatnya kebetulan terjadi ). Selain itu teori ini pun tidak digunakan dalam hukum pidana karena dianggap sangat memperluas dasar pertanggungjawaban (strafrechtelijke aansprakelijheid) .
Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel teori conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori conditio sine qua non “baik” untuk digunakan dalam hukum pidana, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan teori tentang kesalahan (schuldleer) yang dapat mengkorigir dan meregulirnya ). Teori Van Hamel disebut “teori sebab akibat yang mutlak” (absolute causaliteitsleer) ). Moelyatno menyimpulkan dari pendapat Van Hamel bahwa pada dasarnya Van Hamel sendiri merasa teori conditio sine qua non masih kurang, kecuali jika diimbangi dengan pembatasan (restriksi) yang bisa ditemukan dalam pelajaran tentang kesalahan dan kealpaan. Namun, moelyatno sendiri kurang menyetujui pendapat tersebut, karena dengan menyamaratakan nilai tiap-tiap musabab dan syarat, meskipun hal itu secara logis adalah benar, tapi itu bertentangan dengan pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan antara syarat dan musabab ). Secara teoritis begitulah keadaannya, namun pada prakteknya justru sebaliknya yakni membedakan antara syarat dan musabab.

2. Teori yang menginvidualisir
Teori ini muncul untuk memperbaiki dan menyempurnakan teori conditio sine qua non. Teori ini mengadakan pembatasan antara syarat dengan sebab secara pandangan khusus (mengindividualisasikan), yakni secara konkrit mengenai perkara tertentu saja, dan karena itu mengambil pendiriannya pada saat sesudah akibatnya timbul (post- faktum) Ada beberapa teori yang termasuk dalam teori ini adalah:

a). teori der meist wirksame bedingung
Teori ini berasal dari Birkmeyer. Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan tertentu yang paling banyak berperan untuk terjadinya akibat (meist wirksame) diantara rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. Jadi, teori ini mencari syarat yang paling berpengaruh diantara syarat-syarat lain yang diberi nilai.
Teori ini mengalami kesulitan untuk menjawab permasalahan yang muncul yakni, bagaiman cara menentukan syarat yang paling berpengaruh itu sendiri atau dengan kata lain bagaimana mengukur kekuatan suatu syarat untuk menentukan mana yang paling kuat, yang paling membantu pada timbulnya akibat) . Apalagi jika syarat-syarat itu tidak sejenis) .

b.Teori gleichewicht atau uebergewicht
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Karl Binding, teori ini mengatakan bahwa musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negative) . Menurut Binding, semua syarat-syarat yang menimbulkan akibat adalah sebab, ini menunjukkan bahwa ada persamaan antara teori ini dengan teori conditio sine qua non.

c. Teori die art des werden
Teori ini dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah syarat yang menurut sifatnya (art) menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi dari ajaran Birkmeyer) . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan akibat.

d. Teori Letze Bedingung
Dikemukakan oleh Ortman, menyatakan bahwa factor yang terakhir yang mematahkan keseimbanganlah yang merupakan factor, atau menggunakan istilah Sofyan Sastrawidjaja bahwa sebab adalah syarat penghabisan yang menghilangkan keseimbangan antara syarat positif dengan syarat negative, sehingga akhirnya syarat positiflah yang menentukan.

3. Teori yang mengeneralisir
Teori ini lahir sebagaiman “teori yang mengindividualisir” lahir, yakni dalam rangka memperbaiki teori Von Buri yang dianggap terlalu luas karena tidak membedakan antara syarat dengan sebab. Sehingga, harus dipilih satu factor saja, yaitu yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dipandang sebagai sebab. Teori ini mengadakan batasan secara umum yaitu secara abstak, jadi tidak terikat pada perkara yang tertentu saja, dan karena itu juga mengambil pendirian pada saat sebelum timbulnya akibat (ante- faktum).
Ada beberapa teori yang berbeda yang termasuk dalam teori yang mengeneralisir ini. Adapun perbedaan ini berpokok pangkal pada pengertian dari istilah “perhitungan yang normal”) dalam hal penentuan syarat yang dapat diambil sebagai sebab (causa). berikut ini adalah beberapa teori yang mengeneralisir :

a. Teori Adequate (keseimbangan)
Dikemukakan oleh Von Kries. Dilihat dari artinya, jika dihubungkan dengan delik, maka perbuatan harus memiliki keseimbangan dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat.
Teori ini disebut “teori generaliserend yang subjektif adaequaat”, oleh karenanya Von Kries berpendapat bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pembuat) .

b. Teori objective nachtraglicher prognose (teori keseimbangan yang objektif)
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah factor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi.
Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi, walau bagaimanpun akibat harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan objektif setelah terjadinya delik, ini merupakan tolak ukur logis yang dicapai melalui perhitungan yang normal.

c. Teori adequate menurut Traeger
Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar artinya pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi.

4. Teori Relevantie
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan hubungan sebab akibat tidak mengadakan pembedaan antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak pidana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.

5. Teori perdata
Teori ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 KUHP Perdata (BW),yang menyatakan bahwa “pertanggungjawaban “ hanya ada, apabila akibat yang timbul itu mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan yang terdahulu atau dapat dibayangkan lebih dahulu. Teori ini boleh dikatakan sama dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa teori perdata ini dapat juga dipergunakan dalam hukum pidana.