Entri Populer

Kamis, 08 Maret 2012

SEKILAS TENTANG TEORI KEADILAN

Oleh:

Setia Darma, SH.


Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang utama, namun ia bersifat abstrak dan sulit diukur. Karena sifatnya itu, keadilan lahir dengan berbagai teori, dan teori-teori keadilan tersebut dinamakan berdasarkan nama pencetus teori keadilan tersebut. Misalnya; teori keadilan Jown Rawls, teori keadilan Robert Nozick, teori keadilan John Stuart Mill, Teori keadilan Katholikisme dll. Semua teori keadilan tersebut memiliki fokus yang penilai yang berbeda tentang keadilan dan bagaimana mendistribusikan keadilan, tergantung dengan latarbelakang, keadaan saat teori tersebut lahir, ideologi dan filsafat yang dianut oleh teorisi tersebut. Namun, pada intinya mereka bicara mengenai bagaimana sebuah keadilan itu harusnya didistribusikan.

Teori keadilan John Rawls merupakan konsep keadilan yang mengeneralisasikan dan mengangkat teori kontrak sosial ke tingkat abstraksi yang paling tinggi. gagasan tersebut dapat dilihat dari prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan tujuan dari kesepakatan.

Menurut Rawls subjek utama dari prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema kerjasama.
Menurut Rawls yang mengangkat teori keadilan dari teori kontrak sosial John Locke, JJ Rosseu dan Kant, kondisi bagi keadilan tercapai “jika pribadi-pribadi yang sama-sama tidak berkepentingan mengemukakan klaim-klaim yang bertentangan mengenai pembagian keuntungan sosial di dalam kondidi kelangkaan yang moderat”. Rawls mengemukankan dua prinsip keadilan, yaitu :
1. Setip pribadi memiliki hak yang setaa terhadap sistem total yang paling luas bagi kebebasan-kebebasan dasar yang mirip dengan sistem kebebasan serupa bagi semuanya.
2. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi disusun sedemikian rupa adar mereka dapat: a) memberi kuntungan terbesar bagi pihak yang kurang beruntung, sesuai prinsip penghematan yang adil, dan (b) dilekatkan pada jawatan dan jabatan pemerintahan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan kondisi kesetaraan yang adil terhadap kesempatan.

Selain itu, ada prinsip model khusus bagi konsep umum keadilan. “Konsep umumnya adalah nilai-nilai sosial disitribusikan dengan setara kecuali distribusi tidak setara dari salah satu atau semua nilai ini membawa keuntungan bagi semua orang”. Diuraikan lebih lajut mengenai prinsip keadilan menurut Rawls tersebut. bahwa, keadilan sebagai kesetaraan, menghasilkan keadilan prosedural yang murni , dan prinsip-prinsip keadilan diperoleh bukan dengan mengevaluasi kemanfaatan dari tindakan-tindakan (atau kecenderungan tindakan), melainkan dari pilihan rasional dalam kondisi yang adil.

Wallahua'lam..

Bukan hanya cerita hati: PELATIHAN KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) 2012

Bukan hanya cerita hati: PELATIHAN KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) 2012

Rabu, 22 Februari 2012

PELATIHAN KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI) 2012

PELATIHAN KONSULTAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL 2012


PENYELENGGARA
PUSAT PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN ILMU HUKUM (P3IH) FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


Kerjasama antara
Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM RI


Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2005 tentang Hak Kekayaan Intelektual menetapkan bahwa salah satu persyaratan untuk diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah mengikuti dan lulus Pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: HKI-78.0T.03.01 Tahun 2011 tentang Penunjukan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta sebagai Penyelenggara Pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Tahun 2011, maka Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta akan mengadakan pelatihan Konsultan HKI. Adapun yang menjadi materi pelatihan adalah sebagai berikut:
1. HKI secara umum (6 Jam)
2. Paten dan Paten Drafting (60 Jam)
3. Merek dan Indikasi Geografis (30 Jam)
4. Hak Cipta (30 Jam)
5. Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang,
Perlindungan Varietas Tanaman (30 Jam)
6. Materi tambahan: Karya Cipta Multimedia dan Budaya Tradisional, Kode Etik
Profesi ( 9 Jam)

Waktu dan tempat Pelatihan
Hari & Tanggal : Sabtu dan Minggu, 14 April 2012 – 15 Juli 2012
Waktu : 08.30 – 15.30 WIB
Tempat : Gedung Pasca Sarjana UMJ

Ujian Masuk
Untuk dapat mengikuti pelatihan, Peserta diwajibkan lulus Ujian Masuk yang akan dilaksanakan Pada:
Hari & Tanggal : Sabtu, 07 April 2012
Waktu : 10.00 WIB s/d selesai
Tempat : Gedung Pasca Sarjana UMJ
Pengumuman hasil ujian Tgl 11 April 2012.

Syarat Pendaftaran
1. Mengisi formulir pendaftaran
2. Fotocopy ijazah S1 yang dilegalisir (semua disiplin ilmu) sebanyak 2 lembar
3. Fotocopy KTP sebanyak 2 lembar
4. Pas foto berwarna ukuran 3x4 sebanyak
4 lembar
5. Biaya pendaftaran Rp.500.000 (lima ratus ribu rupiah)


PEMBAYARAN
Pembayaran Biaya Pendaftaran dan Biaya Pelatihan dapat dilakukan secara tunai atau via transfer ke :

BANK MANDIRI a/n P3IH FH-UMJ
No. Rek. 1010005268964


Biaya Pelatihan
Rp. 23.000.000,- (Dua Puluh Tiga Juta Rupiah)
(Termasuk Biaya Pendidikan, Ujian,
dan Pelantikan)
Jadwal pendaftaran : 24 Januari 2012 s.d 07 April 2012
Waktu senin – Jum’at jam 09.00 – 17.00 WIB
Informasi lebih lanjut:
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum UMJ
Telp: 021-7442705
Hubungi Tia (081314221014)


Jumat, 03 Februari 2012

RECALL DALAM SISTEM DEMOKRASI

Oleh: Setia Darma


Demokrasi, adalah system yang dipilih oleh Indonesia untuk menjalankan pemerintahannya. Demokrasi sendiri secara umum dapat diartikan sebagai system pemerintahan yang melibatkan rakyat, oleh karena itu Indonesia menganut pula sistem partai untuk menjalankan demokrasi yang seimbang dan transparan. Secara konstitusional Indonesia memberi peluang untuk setiap warga negaranya yang memenuhi syarat utuk mendirikan partai, dan peluang itu pula yang membentuk Indonesia sebagai Negara yang berpartai banyak. Dalam sistem politik di Negara Indonesia, partai politik memiliki legitimasi kuat dalam hukum dan kancah politik, termasuk besarnya kewenangan partai yang diberikan oleh undang-undang.

Salah satu kewenangan tersebut adalah Hak Recall yang dalam tulisan ini akan diuraikan secara umum mengenai pandangan penulis terhadap recall yang menjadi bagian dari sistem demokrasi di Indonesia. Penulis termasuk salah satu yang tidak menyetujui recall diberikan sebagai hak mutlak partai politik karena menurut penulis recall yang diberikan secara mutlak dalam prakteknya menodai demokrasi itu sendiri dan tidak menjadi pengawal dan penyeimbang demokrasi sebagaimana di cita-citakan ketika recall disetujui untuk dianut dalam sistem politik dan hukum di Indonesia. Artinya, Hak Recall yang dimiliki oleh partai politik tidak mendekati bahkan tidak mencapai tujuannya, melainkan ia berjalan menjauh dari tujuannya itu, dan berpotensi untuk bertentangan dengan tujuannya sebagai penyeimbang dalam proses demokrasi.

Recall secara terminologi dapat diartikan sebagai penarikan kembali, walaupun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada muatan kata recall sebagai istilah yang digunakan. Dalam sistem politik Indonesia recall diartikan sebagai penarikan kembali seorang wakil rakyat dengan sistem pergantian antar waktu baik dipusat maupun didaerah oleh partai politik yang mengusungnya dan menggantinya dengan orang lain yang ditunjuk oleh partai. Dinyatakan oleh M. Hadi Subhan bahwa: “hak recall ialah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukan”.

Recall sejatinya tidaklah melanggar konstitusi Republik Indonesia, bahkan ia diatur sebagai hak partai politik demi demokrasi yang seimbang dan parlemen yang berkualitas. Namun pengaturan yang bias dan hak mutlak yang diberikan pada partai politik menjadikan recall sebagai “jalan” bagi terjadinya pelanggaran terhadap hak konstitusi DPR/DPRD yang sekaligus sebagai bagian dari warga negara Republik Indonesia. Pada perkembangannya recall bukan lagi sebagai penyeimbang melainkan alat bagi partai politik untuk menunjukkan kuasanya pada kader yang diusungnya.

Dilihat dari tujuannya sebagai penyeimbang dalam proses demokrasi, recall menjadi pendamping sekaligus penjamin terlaksananya amanah konstitusi itu sendiri. Namun menjadi bias dan anti demokrasi, jika recall tersebut diartikan tidak secara professional, melainkan secara subyektif dan tanpa itikad baik. Dan lebih mengkhawatirkan adalah recall menjauh dari tujuannya dan berpeluang besar untuk menodai demokrasi. Recall yang merupakan hak partai politik, akan mencapai tujuannya sebagai alat pengawas terhadap DPR/DPRD yang diusungnya untuk menjadi wakil rakyat yang memiliki integritas, berkemampuan dan memiliki loyalitas terhadap tugas-tugas dan amanah yang diembannya, jika saja hak recall tersebut diartikan dengan professional dan dimanfaatkan dengan itikad baik oleh partai politik, sehingga tidak ada recall yang manipulatif dan subyektif sehingga menodai demokrasi itu sendiri.

Tapi, Das sein Das Sollen. Nyatanya recall dalam perkembangannya melukai demokrasi di Indonesia yang sedang bangkit dan baru akan melalui masa-masa transisinya. Recall dimanfaatkan oleh partai politik untuk menekan kadernya. Lihat saja pada tahun 2004 partai demokrat me-recall 4 kadernya yakni: Firman Setiawan, Mohammad sholeh, Moh.saleh dan Saptono Yusuf karena mereka menolak permintaan partai untuk menyetor gajinya 90% , contoh tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak recall yang terjadi di Indonesia.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa demokratisasi di Indonesia bergulir cepat sejak akhir 90-an, awalnya recall yang dilegalisasi pada pemerintahan suharto menjadi alat refresif yang ampuh bagi partai politik /pemerintahan pada waktu itu, yang secara politis menjadikan DPR tidak sebagai wakil rakyat melainkan wakil partai. Seiring jatuhnya rezim yang luar biasa refresifnya tersebut, hak recall partai politik dihapuskan karena dianggap sebagai sisi gelap demokrasi. Alasan tersebut dapat diterima dengan mudah oleh para politisi dan ahli tata negara negeri ini pada saat itu, mengingat recall telah memenjarakan hak politik DPR untuk bersuara dan berinspirasi berbeda dari partai politik yang mengusungnya.

Namun, seiring perguliran reformasi penghapusan recall dianggap tidak menyelesaikan masalah. Menurut pandangan politisi, akademisi dan ahli tata Negara, recall harus kembali diatur sebagai pencegahan terhadap eksisnya wakil rakyat yang tidak bermutu, malas, tidak melaksanakan tugasnya dengan benar dan tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Diharapkan dengan kembalinya pengaturan terhadap recall, DPR yang tidak layak tersebut dapat di recall oleh partai politik yang mengusungnya.

Sejak UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD (UU Susduk) dan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol) disahkan, recall itu telah kembali dilegalisasi di negeri tercinta ini. Pengaturan tersebut terdapat pada pasal 85 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR,DPR,DPD dan DPRD dengan bunyi sebagi berikut: “Anggota DPR berhenti antar waktu karena: (c). diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan” dan diatur dalam Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang berbunyi sebagai berikut: “ (b). Diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga”.

Kebanyakan partai politik menyetujui dilegalkan kembali recall demi perbaikan kinerja wakil rakyat ke depan. Partai Persatuan Pembangunan dalam muktamarnya yang ke-5 (lima) di jakarta pada tanggal 20 Mei 2003 menyatakan tujuan dilegalisasi recall :“ meningkatkan kualitas demokrasi itu sendiri, selain itu mengurangi resiko keterasingan para wakil rakyat dari para pemilih dan partai yang diwakilinya”. Pada prakteknya, recall malah menodai demokrasi di negeri ini. Aturan yang tidak jelas dan subyektif menjadikan recall seperti sebuah legalisasi terhadap penodaan demokrasi. Dengan di legalkan kembali recall, DPR tidak menjadi wakil rakyat, tapi menjadi wakil partai.

Hak yang dimiliki partai atas anggota parlemen ini juga menjadi berbahaya dalam pelaksanaannya karena ketika anggota bersuara berbeda dengan partai (fraksinya di parlemen), akan menjadi alasan partai politik yang mengusunanya untuk me-recall-nya melalui sistem pergantian antar waktu. Hal ini logis terjadi mengingat dalam sistem politik kita seseorang hanya boleh menjadi anggota DPR melalui partai yang dipilih dalam pemilu. Anggota-anggota partai yang terpilih menjadi wakil rakyat berhimpun dalam satu fraksi di parlemen karena fraksi adalah kepanjangan tangan partai.
Recall selain melanggar hak konstitusi anggota parlemen yang di recall juga berbahaya bagi pembangunan negara ini kearah yang lebih baik, karena recall mengancam secara tidak langsung parlemen yang berbeda suara dan/atau pendapat dengan fraksinya, hal ini menghambat ekspresi parlemen untuk menunjukkan pendapat berbeda yang bias kritis terhadap fenomena sosial dan lebih baik dari fraksinya.

Recall juga menjadi tidak relevan mengingat sistem pemilihan Indonesia adalah pemilihan langsung, artinya wakil rakyat ditunjuk langsung oleh konstetuennya, ketika ia di recall oleh partainya, hal tersebut akan menjadi pengkhianatan terhadap konstituen karena untuk melakukan recall, partai politik tidak diharuskan untuk mengajak konstituennya dialog secara terbuka mengenai wakil rakyat yang akan di recall.

Recall menjadi hal aneh di negara demokrasi seperti Indonesia, DPR yang dipilih melalui rakyat menjadi dapat diberhentikan oleh partainya tanpa ada kesepakatan atau jajak pendapat dengan konstituennya. DPR yang mungkin saja berpihak pada rakyat , tapi karena berbeda dari partainya menjadikan dia harus di recall.Sebagai negara demokrasi yang mengagungkan kebebasan berpendapat dan bernegara, seharusnya, recall perlu dikaji ulang sebagai salah satu sistem yang tidak akan menodai demokrasi ini. Bahwa Recall pernah dimohonkan judicial review yang diajukan oleh Djoko Edy Sutjipto Abdurrahman mengenai pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang No.22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR, DPD dan DPRD dan pengujian Pasal 12 huruf b undang-undang No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Recall yang diajukan oleh Djoko Addy tersebut diputus “ditolak” oleh Mahkamah Konstitusi dengan perbandingan suara 5:4 (lima banding empat), empat hakim dari sembilan hakim mahkamah konstitusi, yakni: Jimly Assiddiqy, Maruarar Siahaan, Abdul Mukhtie Fajar dan Laica Marzuki mengajukan dissenting opinion atas putusan tersebut. Jimly Assidiqy dan Maruarar Siahaan dalam dissenting opinionnya berpendapat antara lain bahwa Recalling anggota DPR semata-mata karena pelanggaran AD/ART partai politik adalah pengingkaran terhadap hubungan DPR dengan konstituennya dan lembaga negara yang sejatinya tunduk pada hukum publik (konstitusi) .

Pada akhirnya, penulis berrpendapat bahwa Recall tidak relevan di negara demokrasi karena pelaksanaan recall dengan alasan-alasan diadakannya recall selama ini justru menunjukkan bahwa demokrasi tidak sedang berjalan.


-------------------- / / -----------------------

Rabu, 01 Februari 2012

KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENEMUAN HUKUM

Oleh:
Setia Darma,S.H.


Lahir sebagai amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), Mahkamah Konstitusi menyandang tugas besar sebagai pengawal demokrasi untuk menjadi pembela kaum minoritas dan menjamin hak-hak warga negara. Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa kewenangan yang tercantum secara limitatif dalam Pasal 24C ayat 1 UUD NRI 1945. Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 (judicial review), memutus sengketa kewenangan negara yang kewenangannya diatur oleh UUD NRI 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Serta sebuah kewenangan untuk memutus dugaan DPR mengenai adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Presiden atau wakil Presiden.

Memiliki kewenangan dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar menuntut Mahkamah Konstitusi untuk memiliki kehatian-hatian besar dalam memutus apakah suatu undang-undang akan dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar atau sebaliknya. Sejak kelahirannya, Mahkamah Konstitusi telah memutus ratusan kasus judicial review, dengan putusan diterima dan ditolak.

Secara Historis, kewenangan judicial review lahir dikarenakan hasil penemuan hukum oleh hakim, walaupun banyak sarjana yang mengemukakan bahwa pandangan Hans Kelsen mengenai staufenbau theorie yang menginspirasi adanya suatu mekanisme pengujian norma, namun sesungguhnya mekanisme pengujian konstitusional norma lebih dahulu muncul dibandingkan teori Hans Kelsen tersebut. Pengujian konstitusional norma lahir dikarenakan paham supremasi konstitusi. Walaupun erat dengan gagasan staufenbau theorie namun gagasan supremasi konstitusi lebih dahulu muncul melalui putusan Chief John Marshal (ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat) melalui perkara Marbury Vs Madison. Perkara inilah yang memunculkan ajaran bahwa setiap produk hukum ataupun tindak tanduk yang dilakukan penyelenggara negara tidak dapat melampaui konstitusi.

Dalam menjalankan tugas yang diembannya, hakim harus melakukan penemuan hukum demi didapatnya putusan yang seadil-adilnya. Dilihat dari kewenangannya, Mahkamah Konstitusi harus menemukan keadilan substantif dalam tiap putusannya karena pada hakikatnya ia tidak terikat untuk mengikuti aturan undang-undang secara kontekstuil.
Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim dilakukan melalui metode penafsiran hukum, dalam hal judicial review penemuan hukum dilakukan dengan metode penafsiran konstitusi. Penafsiran konstitusi (constitution Interpretation) merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar, atau dapat disebut sebagai interpretation of the Basic Law. Metode penafsiran konstitusi menjadi suatu keniscayaan mengingat konstitusi merupakan suatu hal yang bersifat mendasar bahkan R. Dworkin mengutarakan bahwa konstitusi mempunyai ‘moral’ yang mengendap didalamnya yang perlu digali dalam menilai suatu norma ataupun pengujian norma yang ada di bawahnya.

Penafsiran wajib di lakukan oleh hakim, kewajiban ini tertuang dalam Undang-Undang No.48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Di sini hakim wajib menemukan hukumnya dengan cara menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan.

Nonet-Selznick penggagas teori hukum responsif dalam teorinya berpendapat bahwa hakim harus melihat sebagai suatu institusi sosial, sehingga keberlakuan hukum perlu ditinjau bagaimana sesungguhnya tujuan itu menghendaki.
Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal demokrasi di RI harus melakukan penemuan hukum, tidak hanya terikat secara kontekstual dengan aturan yang ada. Melainkan mencari putusan dengan pertimbang yang seadil-adilnya dengan melihat pula undang-undang dari segi pelaksanannya demi proses demokrasi yang sehat. Dalam memutus perkara hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan bisa menemukan hukumnya dari pertimbangan paling mendasar mengenai hakikat konstitusi dan perlindungan atas hak warga negara yang tidak hanya secara kontekstual tapi juga realitasnya dalam perlindungan itu.

_________//_______