Entri Populer

Sabtu, 09 Januari 2010

HUKUM ACARA PADA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BY: Setia Darma


Dalam system peradilan Indonesia, pengadilan hubungan industrial termasuk pengadilan khusus dalam lapangan peradilan umum, hal tersebut sesuai dengan Pasal 55 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial masih memberlakukan hukum acara perdata yang termasuk pada ruang lingkup peradilan umum, kecuali diatur dengan ketentuan yang berbeda dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004.
Para pihak yang beracara dipengadilan hubungan industrial tidak dikenakan biaya perkara termasuk biaya pelaksanaan putusan yang nilai gugatannya kurang dari 150.000.000 Rupiah. Artinya, untuk nilai gugatan dibawah jumlah nominal tersebut para pihak beracara dengan Cuma-Cuma. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara peradilan perdata atau agama yang walaupun juga berawal dari gugatan, namun tetap membayar biaya perkara tanpa memperhatikan berapa nilai gugatannya, kecuali jika penggugat mengajukan prodeo kepada hakim. Prodeo_pun membutuhkan proses yang tidak sederhana, karena hakim akan mengadakan pra peradilan untuk memutuskan apakah penggugat layak untuk mendapat prodeo atau tidak.

PENGAJUAN GUGATAN
Pengajuan gugatan pada pengadilan hubungan industrial bukanlah langkah awal dan/atau satu-satunya untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, melainkan langkah terakhir dari semua alternative yang ada. Sebelum salah satu dan/atau para pihak mengajukan gugatan, harus terlebih dahulu menyelesaikannya dengan jalan musyawarah melalui bipartite. Jika, langkah tersebut dinyatakan gagal, para pihak dipersilahkan untuk memakai alternative penyelesaian lainnya seperti; mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Jika langkah tersebutpun gagal, maka salah satu pihak atau para pihak diperbolehkan untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri dimana buruh atau pekerja bekerja (Pasal 81 UU No. 2 Tahun 2004).
Dalam pengajuan gugatan, penggugat harus melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi yang menunjukkan bahwa para pihak sebelumnya sudah melalui alternative penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi. Risalah tersebut sekurang-kurangnya memuat tentang identitas para pihak, tanggal dan tempat perundingan, permasalahan, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan dan tanggal disertai tandatangan para pihak yang melalukan perundingan (Pasal 6 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2004).
Gugatan yang tidak melampirkan risalah seperti dimaksud diatas, akan dikembalikan oleh hakim pengadilan hubungan industrial pada penggugat (Pasal 83 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004). Untuk gugatan yang isinya dianggap kurang oleh hakim, akan dikembalikan pada penggugat dan dimintakan kelengkapannya (Pasal 83 yat 3 UU No. 2 Tahun 2004).
Gugatan dapat dilakukan secara kolektif, jika penggugatnya lebih dari satu dengan kuasa khusus (Pasal 84 UU No. 2 Tahun 2004), artinya bahwa gugatan dalam hal perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan secara class action. Dalam class action dikenal istilah class member dan class representative. yang dimaksud dengan class member adalah para pihak yang diwakili secara khusus untuk mengajukan gugatan dan class representative adalah pihak yang mewakili atau pihak yang mendapat kuasa khusus dari class member untuk melakukan gugatan.
Syarat untuk melakukan gugatan kolektif atau class action adalah adanya kesamaan permasalahan yang menimbulkan kerugian bagi para penggugat dengan tergugat yang sama. Jadi, untuk melakukan gugatan kolektif yang diperhatikan adalah kesamaan permasalahan dengan tergugat yang sama bukan kesamaan kerugian.
kerugian yang diderita oleh para penggugat masing-masing tidaklah harus sama, mengenai perbedaan tuntutan yang diinginkan oleh para penggugat diluar dari isi gugatan kolektif, ganti kerugian yang berbeda bagi para penggugat dapat dilakukan dengan perjanjian antar para penggugat (antar class member) dan antara class member dengan class representative untuk melakukan pembagian ganti kerugian secara porposional bagi para penggugat sesuai kerugian yang diderita setelah gugatan mendapat putusan diterima dan tuntutannya dikabulkan oleh hakim.
Gugatan sewaktu-waktu dapat dicabut oleh penggugat, dengan syarat tergugat belum memberikan jawaban (eksepsi) terhadap gugatan penggugat. Jika, gugatan tersebut sudah mendapat jawaban dari tergugat, penggugat hanya dapat mencabut gugatan tersebut atas persetujuan tergugat (Pasal 85 ayat 1 dan 2 UU No. 2 Tahun 2004).

PROSES PERADILAN
Sidang pertama dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial harus dilakukan oleh majelis hakim paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penetapan majelis hakim oleh ketua pengadilan negeri. Sidang harus dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari seorang hakim sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis (hakim anggota), majelis hakim tersebut ditentukan oleh ketua pengadilan negeri, sidang yang bukan dilakukan oleh majelis hakim sebagaiman tersebut dinyatakan tidak sah.
Hakim harus melakukan pemanggilan terhadap para pihak secara sah. Pemanggilan dinyatakan telah dilakukan secara sah, jika pemanggilan dilakukan dengan surat panggilan yang ditujukan pada alamat tempat tinggal para pihak atau pada alamat tempat kediaman terakhirnya, apabila alamat tempat tinggalnya tidak diketahui.
Untuk pihak yang tidak ada ditempat tinggalnya atau pada kediaman terakhirnya, pemanggilan dapat dilakukan melalui kepala kelurahan atau kepala desa tempat kediaman terakhir atau tempat tinggal pihak tersebut. Untuk surat panggilan yang telah diterima baik oleh pihak itu sendiri ataupun orang lain, dibuktikan dengan tanda terima. Dalam hal tempat tinggal atau kediaman terakhir pihak yang dipanggil tidak diketahui, maka surat panggilan ditempel pada papan pengumuman pengadilan hubungan industrial dimana perkara tersebut diperiksa.
Dalam hal para pihak dan/ atau salah satu pihak yang sudah dipanggil secara sah, namun tidak hadir pada sidang hari pertama tanpa suatu alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka ketua majelis hakim menunda persidangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak hari sidang pertama. Penundaan oleh ketua majelis hakim hanya dapat dilakukan sebanyak 2 (dua) kali. Apabila dalam 2 (dua) kali penundaan penggugat atau kuasa hukumnya tetap tidak hadir, maka gugatan dianggap gugur dan penggugat diberi satu kesempatan lagi untuk melakukan gugatan. Namun, apabila yang tidak hadir dalam 2 (dua) kali penundaan adalah pihak tergugat atau kuasa hukumnya, maka hakim dapat memeriksa dan memutus perkara tanpa kehadiran pihak tergugat atau kuasa hukumnya.
Untuk pembuktian perkara, majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli kepersidangan untuk didengar keterangannya dalam perkara tersebut. Sebelum dimintai keterangan dalam persidang, saksi atau saksi ahli wajib disumpah. Setiap orang wajib memberikan keterangan yang diminta oleh majelis hakim termasuk membuka buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukandalam pemeriksaan perkara
Apabila keterangan yang minta oleh majelis hakim merupakan hal yang harus dirahasiakan karena jabatan atau kedudukannya, maka sesuai dengan Pasal 1908 BW sebagai salah satu sumber hukum acara peradilan hubungan industrial bahwa saksi tersebut dapat minta dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi.
Sidang dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh hakim karena alasan tertentu, namun pada saat pembacaan putusan oleh hakim harus dinyatakan terbuka untuk umum tanpa terkecuali. Pada saat pembacaan putusan, jika oleh hakim tidak dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan dianggap tidak sah dan batal demi hukum.

KESIMPULAN
Pengadilan hubungan industrial merupakan pilihan terakhir dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sebelum menempuh jalan melalui pengadilan, terlebih dahulu para pihak harus melakukan musyawarah melalui bipartite untuk mencapai mufakat sebagai ideology bangsa yang berasal dari falsafah pancasila yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat.
Apapun alasannya, musyawarah adalah solusi “win-win”. Artinya, dengan musyawarah para pihak yang berselisih masing-masing merasa puas, tanpa harus ada pihak yang merasa menang dan kalah. Namun, musyawarah tidaklah harus mencapai mufakat, ada kemungkinan untuk tidak sepakat. Oleh karena itu, undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial menentukan alternative lain yang bisa ditempuh, jika ternyata musyawarah tidak mencapai mufakat. Alternatif lain tersebut adalah mediasi atau konsiliasi, dan arbitrase.
Apabila alternative lain tersebut telah ditempuh namun dinyatakan gagal, maka salah satu pihak dan/ atau para pihak dapat mengajukan gugatan kepengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri.


Wallahu a'alam Bisshowaab.