Entri Populer

Rabu, 10 Juni 2009

ETIKA DI DUNIA MAYA

OLEH: SETIA DARMA

Mengenai dunia maya sebagai ruang tanpa batas, Sutarman pada intinya menyatakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menimbulkan perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum. Sebuah kenyataan yang menakjubkan ketika setiap orang dari belahan dunia yang berbeda dapat menikmati hiburan, mengakses apa saja yang menurutnya dapat mendatangkan kesenangan dan kepuasan, berkomunikasi, bahkan bertatap muka dalam hitungan detik tanpa harus saling bertemu. Kondisi ini menjadikan internet sebagai dunia baru yang sempit sekaligus menantang.

Dengan adanya layanan internet manusia dapat melakukan aktifitas layaknya didunia nyata (real), seperti mengobrol, melakukan transaksi bisnis, bertukar informasi dengan teman dan lain sebagainya. Sebagai dunia yang memiliki sifat dan tingkat kontrol berbeda dari dunia real, dunia maya dengan segala aktifitasnya jadi sulit untuk dibatasi, diawasi dan dibuktikan kegiatannya, jika ternyata pada akhirnya terjadi perbuatan melawan hukum. Ini menjadi penting, karena setiap kegiatan di dunia maya akan menimbulkan akibat yang nyata, sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Sutarman bahwa : “ kegiatan siber adalah kegiatan virtual tetapi berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya elektronik. Oleh karena itu, subyek pembuatnya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara nyata”.

Dinyatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : “Ruang cyber (dapat disebut dengan istilah “mayantara”, walaupun mungkin kurang tepat) juga merupakan bagian atau perluasan dari lingkungan (invironment) dan lingkungan hidup (life invironment) yang perlu dipelihara dan dijaga kualitasnya”. Dengan maksud yang sama Howard Rheingold menyatakan bahwa : “ cyber space adalah sebuah ‘ruang imajiner’ atau ‘maya’ yang bersifat artificial, dimana setiap orang melakukan apa saja yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru”.

Hal senada disampaikan oleh Ahmad Ramli dkk bahwa : “setiap kegiatan siber meskipun bersifat Virtual tetapi dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan yang nyata”. Sebuah kenyataan sosial bahwa internet menawarkan ruang publik yang maya, namun nyata terjadi dan nyata akibat-akibatnya. Lebih jelasnya diuraikan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut :
Dunia nyata dan maya (cyber space) tidak terpisah secara tegas. Artinya aktifitas di internet walaupun dianggap sebagai suatu aktifitas maya, dalam pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari manusia dalam dunia nyata. Ini dikarenakan internet sebagai sebuah teknologi menuntut peran manusia dalam pengoperasianya. Manusia dalam alam nyatalah yang bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya.

Sebagai perluasan dari lingkungan dan lingkungan hidup sudah sewajarnya jika dalam komunitas maya ini sendiri ternyata memiliki etika atau aturan yang harus ditaati bersama oleh pengguna internet. Diuraikan oleh Abdul Wahid sebagai berikut :
Dunia maya ini juga memiliki aturan (kelaziman) yang kita definisikan bersama. Aturan ini ada yang sama dan ada yang berbeda dengan aturan yang ada didunia nyata dikarenakan hukum-hukum fisika tidak berlaku di dunia ini (dunia maya; pen). Dua orang yang secara fisik berada ditempat yang jaraknya ribuan kilometer dapat berada di ruang virtual yang sama. Aturan yang sama antara lain sopan santun dan etika berbicara (menulis), meskipun kadang-kadang disertai dengan implementasi yang berbeda. Misalnya ketika kita menulis email dengan huruf besar semua, maka ini akan menandakan bahwa kita sedang marah. Sama ketika kita dianggap sedang marah (padahal mungkin saja karakter kita memang begitu). Semua ini memiliki aturan yang didefenisikan bersama.

Walaupun terjadi dalam ruang yang berbeda, namun kegiatan di dunia maya memiliki etika selayaknya di dunia nyata yang harus dipatuhi masyarakatnya, karena nyatanya pembuat baik didunia maya maupun didunia nyata adalah sama-sama orang yang secara hukum dapat dipertanggungjawabkan dan secara sosial memiliki moral dalam pergaulannya. Disampaikan oleh Barda Nawawi Arief bahwa : “dinyatakan oleh Lessing, orang tetap orang, baik sebelum dan setelah mereka menjauh dari layar komputer (people remain people before and after they step away from the computer screen). Selanjutnya dinyatakan bahwa cyber space bukannya suatu wilayah aman di luar bumi (extraterrestrial safetyzone)….”.

Etika di dunia maya, dimana terjadi interaksi social yang pada perkembangannya membentuk komunitas baru (komunitas dunia maya) atau sering disebut dengan istilah “netizen” memiliki ukuran etika yang sama dengan dunia nyata tentang suatu perilaku yang patut atau tidak patut untuk dilakukan. Walau tidak dapat dihindari bahwa dengan segala bentuk pola interaksi di dalamnya yang tidak membutuhkan kehadiran secara fisik sangat dimungkinkan terjadi penyimpangan interaksi sosial berupa kejahatan dengan modus operandi yang baru dan tergolong canggih. Hal ini yang kemudian mampu menimbulkan korban yang meluas, lintas negara dengan kerugian material yang tanpa batas.

Seperti halnya etika di dunia nyata, etika di dunia maya sangat memperhatikan kelayakan dan kepantasan dalam interaksi sosial, menjadi bagian dari komunitas maya sama artinya dengan menjadi bagian dalam masyarakat sosial, dimana sopan satun dan kesusilaan menjadi ukuran dalam bermasyarakat.

Aturan yang seharusnya ditaati bersama dalam komunitas dunia maya pada kenyataannya tetap memiliki banyak penyimpangan, sebagaimana sebuah interaksi sosial kejahatan tetap menjadi salah satu fenomena dalam interaksi sosial tersebut.

Etika bukanlah suatu aturan hukum yang memaksa, sangat wajar jika ternyata penyimpangan terhadapnya sering terjadi dalam bentuk kejahatan- kejahatan. Hal yang membuat etika atau aturan tak tertulis dalam masyarakat ditaati dengan sedikitnya kejahatan yang terjadi adalah pembuat itu sendiri dan masyarakat dimana ia hidup atau dengan kata lain kontrollah yang sangat berperan dalam menentukan ditaatinya etika atau aturan itu dalam masyarakat. Menurut Abdul Wahid : “Reiss membedakan kontrol menjadi dua yakni; control personal dan social control”.

Diuraikan oleh Abdul Wahid mengenai kedua kontrol sosial tersebut sebagai berikut : “ Personal control adalah kemampuan seseorang untuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara-cara melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud dengan social control atau control eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif”.

Selanjutnya, Abdul Wahid menguraikan yang pada intinya bahwa dalam dunia maya yang sangat menentukan kenapa kontrol sosial menjadi lemah adalah kenyataan bahwa interaksi sosial di dunia maya tidak membutuhkan kehadiran fisik dalam masyarakat, dimana pembuat berada dalam ruang privat dan dengan perbuatannya yang bersifat virtual (maya), sehingga sangat sulit bagi masyarakat ntuk memberikan reaksi langsung terhadap perbuatan yang merugikan mereka atau yang secara umum bertentangan terhadap norma-norma yang hidup dalam masyarakat.

Dengan lemahnya control social, maka akan sangat membantu dengan adanya personal kontrol (kontrol individu) yang akan mampu mencegah pembuat secara pribadi untuk melakukan kejahatan. Namun, dalam interksi sosial di dunia maya control individu pembuatpun melemah. “Kondisi ini timbul karena anggapan bahwa cyber space merupakan area yang bebas, jadi setiap individu bebas melakukan apa saja termasuk perilaku yang dalam dunia nyata (real) termasuk perilaku asosial”.

Intinya bahwa: “kejahatan akan timbul karena kontrol eksternal dan internal secara bersama-sama tidak mampu mengendalikan perilaku mereka” .

Wallahua'lam Bisshowaab...