Entri Populer

Selasa, 02 Maret 2010

MAHAR DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN ADAT

By: Setia darma

PENDAHULUAN

Mahar atau yang lebih dikenal dengan sebutan maskawin bukan hal asing bagi umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mahar hanya akan timbul jika ada perkawinan, artinya tanpa didahului dengan adanya perkawinan mahar tidak akan pernah ada.
Disini, untuk berbicara mahar kita perlu tahu tentang perkawinan. Bukan berarti kita harus membedah tentang perkawinan itu sendiri, namun setidaknya perlu diketahui definisi perkawinan itu sendiri. Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1971 Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan Kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa .
Ikatan lahir batin yang dimaksud dari definisi perkawinan diatas adalah ikatan yang penuh dengan kerelaan, dan mahar adalah salah satu implikasi dari kerelaan itu. Begitu pentingnya keberadaan mahar, Maka Islam mewajibkan adanya mahar dalam perkawinan.
Di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maharpun diwajibkan. Namun pada perkembangannya dalam masyarakat adat di Indonesia tidak selamanya sesuai dengan aturan Islam, mahar menjadi harga perempuan yang tidak bisa ditawar. Pada akhirnya, mahar yang lahir dari aturan islam menjadi begitu berbeda dan nyaris tidak syar’i ketika ia mulai diterapkan pada masyarakat adat tertentu di Indonesia.
Makalah sederhana ini, berusaha menggambarkan mengenai mahar menurut ajaran Islam dan mengenai mahar menurut masyarakat adat tertentu di Indonesia serta letak perbedaan mengenai mahar diantara keduanya.
Mengingat mengenai mahar serta keterkaitannya dengan perkawinan begitu luas dan kompleks, menjadi suatu kemustahilan bagi penulis memaparkan semuanya dalam bentuk makalah sederhana dan terbatas. Selain itu, penulis sadar betul keterbatasannya dalam pengetahuan dan referensi, sehingga dalam tulisan sederhana ini penulis hanya akan berusaha memaparkan mengenai mahar menurut Aturan Islam dan menurut Masyarakat adat tertentu di Indonesia serta perbedaannya.


MAHAR DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN ADAT

Pengertian Mahar

Mahar disebut juga Shidaq/ Maskawin. Menurut Drs. Sudarsono, S.H., M.Si Mahar adalah pemberian wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan baik berupa uang atau barang dan diberikan ketika akad nikah berlangsung . Dari pengertian tersebut seolah-olah mahar tidak bisa dihutang, sebab dinyatakan oleh Sudarsono bahwa mahar diberikan ketika akad nikah berlangsung.
Berbeda menurut Lembaga Darut Tauhid, mahar adalah sejumlah harta yang diberikan kepada Istri sehubungan akad nikah yang dilaksanakan antara suami Istri . Dari pengertian inipun tergambar seolah-olah mahar diberikan setelah berlangsungnya perkawinan, tergambar dari kalimat pemberian kepada Istri yang menunjukkan bahwa suami memberikan sejumlah harta kepada wanita yang sudah dikawininya.
Mahar sendiri merupakan pemberian wajib, sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Sudarsono diatas. Wajib menunjuk pada keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, Allah Berfirman dalam QS:An-Nisa’: 4; Yang Artinya:
Berikanlah Maskawin atau Mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…. (QS: An-Nisa’:4).
Mahar dapat diberikan dengan cara tunai atau hutang dan dalam bentuk barang ataupun jasa. Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim; dari Sahl bin Sa’as as Saidi bahwa ada seorang sahabat rosul yang ingin menikah dan tidak memiliki apa-apa sebagai maskawin, maka Rosul menanyakannya; “ Apa yang engkau Hafal dari Al-Qur’an?” dia menjawab, “saya hafal ini dan itu”, selanjutnya Rosul Bersabda,” Pergilah, aku telah mengawinkanmu dengannya dengan mahar ayat Al-Qur’an yang ada padamu untuk kamu ajarkan padanya”.
Hadist yang dipersingkat oleh penulis diatas menunjukkan bahwa mahar tidaklah harus berupa uang atau barang, namun bisa berupa jasa .
Mahar sendiri bukanlah rukun dalam perkawinan, melainkan syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan. Itu sebabnya mahar tidak harus ada pada saat perkawinan berlangsung, mahar bisa dihutang dan dibayar ketika perkawinan sudah berjalan. Mengenai penyebutan jumlah mahar dalam akad, Ali As’ad menyatakan makruh jika tidak menyebutkan jumlah mahar dalam akad .
Dari penjelasan sederhana diatas, dapat disimpulkan mengenai pengertian Mahar secara umum bahwa Mahar adalah pemberian wajib dari laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya baik berupa uang, barang atau jasa dan dengan cara tunai ataupun hutang.
Pengertian mahar menurut Aturan Islam dengan adat tidak banyak berbeda, setidak mengenai “pemberian wajib”, bahwa adatpun memberi arti mahar sebagai pemberian Wajib. Namun, Masyarakat adat tertentu di Indonesia tidak mengenal mahar dengan cara hutang atau kredit sekaligus juga tidak mengenal mahar dalam bentuk jasa. Bagi Masyarakat Adat tertentu tersebut Mahar harus berupa uang atau barang dan harus dibayar tunai.


Fungsi Mahar

a) Untuk menghalalkan bercampurnya seorang laki-laki dengan seorang wanita, beberapa hadist Rosul menunjuk pada hal tersebut, antara lain: yang Artinya:
Syarat yang lebih wajib kamu tunaikan adalah sesuatu yang dengannya kamu halalkan kemaluannya (HR.Bukhori dan Muslim)

Dalam hadist lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu daud, dikisahkan: yang Artinya:
Dari Jabir: Rosulallah SAW. telah bersabda; “kalau sekiranya memberi makan sepenuh dua tangannya saja untuk maskawin seorang perempuan, sesungguhnya perempuan itu halal baginya” (HR. Ahmad dan Abu Daud) .
b). Sebagai wujud pemuliaan terhadap wanita. Menurut Abdul Halim Mahar merupakan lambing yang nilainya terletak pada perasaan orang yang memberikannya dan keinginannya untuk memuliakan teman hidupnya (Istrinya) .
c). Sebagai Aplikasi Kerelaan seorang laki-laki terhadap perempuan yang dinikahinya. Dalam QS An-Nisa’ ayat 4 Allah berfirman yang pada intinya menyatakan bahwa mahar haruslah merupakan pemberian penuh kerelaan, Artinya laki-laki memberikannya terhadap perempuan yang ia nikahi dengan penuh kerelaan dan tanpa paksaan dari pihak manapun sekaligus sebagai wujud pernyataan kerelaannya menikahi perempuan tersebut.
d). Sebagai Wujud penerimaan seorang perempuan terhadap laki-laki yang menikahinya. Pada konteks ini, penerimaan perempuan terhadap mahar (kecil ataupun besar) yang diberikan laki-laki yang menikahinya adalah wujud kerelaannya menerima laki-laki tersebut apa adanya.
e). Sebagai lambang Tanggung Jawab Suami .
Berbicara mengenai fungsi mahar menurut agama Islam dan menurut Adat dapat dikatakan tidak ada perbedaan, walaupun tidak dapat dipungkiri didaerah-daerah tertentu di Indonesia besar atau kecilnya mahar menjadi indicator kedudukan social maupun ekonomi seseorang, hal ini terkadang mengaburkan fungsi mahar. Seolah-olah mahar berfungsi sebagai penunjuk harga perempuan dan pengukur kelas social ataupun ekonomi si laki-laki ataupun perempuan.

Yang Menentukan Mahar

Dalam Islam tidak ada keharusan siapa yang menentukan mahar, yang paling penting mahar haruslah merupakan pemberian yang penuh kerelaan dan dapat diterima oleh si perempuan. Pada Zaman Rosulallah SAW. mahar ditentukan dari kesanggupan laki-laki untuk memberi pada perempuan yang dinikahinya dan si perempuan rela menerimanya. Berikut adalah salah satu hadist yang mengisahkan tentang mahar: yang Artinya:
Dari Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari suku fazarah telah nikah dengan maskawin dua terompah, maka Rosulallah SAW. Bertanya kepada perempuan itu: Sukakah engkau menyerahkan dirimu serta rahasiamu dengan dua terompah itu?, jawab perempuan itu: ya, saya ridho dengan itu. Maka Rosulallah membiarkan perkawinan itu”. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Berbeda dengan Ajaran Islam, dalam masyarakat adat tertentu di Indonesia seperti; lampung dan Sulawesi maskawin ditentukan oleh perempuan atau pihak perempuan.
Mengenai yang berhak menerima mahar, tidak ada perbedaan dalam praktek antara hukum islam dan adat bahwa yang berhak menerima mahar adalah perempuan.


Besarnya Mahar

Islam tidak membatasi besar atau kecilnya mahar. Sebagai pemberian penuh kerelaan, mahar yang diberikan haruslah sesuai dengan kesanggupan si pemberi dalam hal ini laki-laki. Ada beberapa jenis mahar pada zaman Rosulallah SAW. Antara lain ;
1) Mahar lima ratus dirham
Menurut hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dengan musnad Abu Salamah bin Abdur Rahman bahwa Mahar yang diberikan oleh Rosulallah SAW. Kepada istri-istrinya adalah dua belas Uqiyah dan satu Nasy (setengah Uqiyah / lima Ratus Dirham).
2) Mahar dengan masuknya suami kedalam Agama islam
Hal ini terjadi antara Abu Thalhah dengan Ummu Sulaim.
3) Mahar Emas sebesar Biji Kurma
Dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW. Melihat pada Abdur Rahman bin Auf warna kekuning-kuningan, lalu beliau bertanya; “apa ini?” dia menjawab, “ saya telah kawin dengan seorang wanita dengan mahar emas sebesar biji kurma”. Beliau berkata, “Mudah-mudahan Allah memberi berkah kepadamu. Adakanlah Walimah walaupun hanya menyembelih seekor kambing”.(HR. Bukhari dan Muslim).
4) Mahar mengajari Si Wanita beberapa ayat Al-Qur’an
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim; dari Sahl bin Sa’as as Saidi bahwa ada seorang sahabat rosul yang ingin menikah dan tidak memiliki apa-apa sebagai maskawin, maka Rosul menanyakannya; “ Apa yang engkau Hafal dari Al-Qur’an?” dia menjawab, “saya hafal ini dan itu”, selanjutnya Rosul Bersabda,” Pergilah, aku telah mengawinkanmu dengannya dengan mahar ayat Al-Qur’an yang ada padamu untuk kamu ajarkan padanya”.
5) Mahar dua Terompah
Dari Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari suku fazarah telah nikah dengan maskawin dua terompah, maka Rosulallah SAW. Bertanya kepada perempuan itu: Sukakah engkau menyerahkan dirimu serta rahasiamu dengan dua terompah itu?, jawab perempuan itu: ya, saya ridho dengan itu. Maka Rosulallah membiarkan perkawinan itu”. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi).
6) Mahar Baju Besi
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, ‘ketika Ali r.a. kawin dengan Fatimah r.a., Rosulallah SAW. Berkata kepada Ali, “Berikanlah sesuatu (sebagai maskawin) kepadanya. “dia menjawab, “saya tidak punya apa-apa. “Beliau bertanya, “mana baju besi huthamiyah?” Dia menjawab, “Dia ada padaku. “Beliau bersabda, “Berikanlah dia kepadanya”. (HR. Nasai)
7) Mahar Kebun
Ibnu Abbas berkata, “Istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulallah SAW. Seraya berkata, “ Wahai Rasulallah, aku tidak tercela aga dan akhlaq Tsabit, tetapi aku tidak kuat (hidup) dengannya.’maka Rasulallah SAW. Bertanya, ‘Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya?’ (Maharnya dahulu adalah berupa kebun). Dia menjawab, “Mau”. (HR. Bukhari)
Demikian penentuan mahar menurut Islam, tidak terbatas besar atau kecilnya, Semua harus sesuai kemampuan laki-laki pemberi mahar. Namun, Islam mensyari’atkan mahar yang tidak terlalu besar atau yang berlebih-lebihan. Hadist Rosul: yang Artinya:
Ingatlah, janganlah kamu berlebih-lebihan mengenai maskawin wanita-wanita kamu. Karena kalau maskawin yang mahal itu sebagai tanda kemuliaan didunia atau sebagai tanda taqwa disisi Allah ‘azza Wa Jalla, Niscaya Nabi SAW lebih utama melakukan hal itu daripada kamu. Rosulallah SAW. Tidak pernah memberi maskawin kepada istrinya dan putri-putri beliau juga tidak pernah diberi maskawin lebih dari dua belas uqiyah. Sungguh seseorang berlebih-lebihan didalam memberikan mahar kepada istrinya, sehingga terjadi rasa permusuhan didalam hatinya, dan sehingga dia berkata,’Aku telah dibebani untuk memberikan segala milikku kepadamu’”. (HR.Nasai)
Dari hadist diatas dapat disimpulkan bahwa mahar yang terlalu besar atau yang berlebih-lebihan hanya akan mendatangkan mudharat bagi pasangan tersebut dan akan menjadi benalu bagi rumah tangga mereka. Dalam hadist lain diriwayatkan Rosul bersabda: “ Wanita-wanita umatku yang paling mulia adalah mereka yang cantik parasnya dan sedikit (rendah) maharnya”. Diriwayatkan pula beliau bersabda, “Sesungguhnya wanita yang mendatangkan banyak berkah adalah wanita yang rendah maharnya”.

Lahir dari sumber yang sama, namun tumbuh dan berkembang pada tempat dan kultur yang berbeda. Begitulah mahar, lahir dari Islam namun tumbuh dan berkembang dimasyarakat adat di Indonesia. Lain lubuk lain ikannya, lain rumput lain belalangnya. Mungkin pepatah sederhana ini dapat sedikit menggambarkan bagaimana mahar dalam masyarakat Adat di Indonesia. Islam memang tidak membatasi besar atau kecilnya mahar, bahkan Islam mensyari’atkan mahar yang rendah dan tidak berlebih-lebihan. Namun pada perkembangannya mahar yang ditentukan oleh pihak wanita selalu besar dan berlebihan contohnya; masyarakat adat Sulawesi, masyarakat adat suku tertentu dilampung dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia.

Besarnya mahar yang ditentukan oleh pihak wanita tidak jarang menyebabkan batalnya perkawinan karena ketidak sanggupan pihak laki-laki untuk membayar mahar. Sedangkan pada masyarakat adat mahar yang ditentukan oleh pihak wanita tidak dapat ditawar apalagi dihutang dengan alasan apapun, sehingga jika pihak laki-laki tidak sanggup membayar mahar, maka ia diwajibkan untuk mundur. Dalam masyarakat adat kenyataan social ini sekaligus sebagai indicator kedudukan social dan ekonomi seseorang, semakin terhormat keluarga pihak wanita, semakin besar mahar yang mereka minta. Terhormat disini bisa karena tingkat pendidikan, kedudukan dalam adat (gelar adat) atau bisa juga karena tingkat perekonomian keluarga si perempuan.
Dizaman modern ini pada kehidupan metropolitan tidak perduli latar belakang adat wanita ataupun laki-lakinya mahar sudah tidak ditentukan oleh pihak wanita, namun ditentukan bersama-sama oleh wanita dan laki-laki yang akan menikah. Artinya, besarnya mahar yang akan diberikan oleh laki-laki adalah berdasarkan permintaan si perempuan dan atas kesanggupan si laki-laki. Namun fenomena ini hanya berlaku bagi mereka yang hidup diluar masyarakat adat asal mereka.


REFERENSI

Abu Syuqqoh, Abdul Halim, Kebebasan Wanita, Jilid.5, Jakara: Gema Insani, 1998.
Ali, Muhammad Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Raja grafindo persada,1995, H.72
As’ad,Ali, Fatchul Mu’in, Yogyakarta:Menara, 1979.
Faridl, Miftah, Pokok-pokok Ajaran Islam, Bandung: Pustaka, 1996.
Lembaga Darut Tauhid, Terj: Al Usrah Al-Muslimah Oleh Chumaidi Umar, Jakarta: Mizan, 1990.
Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Cet.XXII, Bandung: Sinar Baru,1989.
Sudarsono, Kamus Hukum, Cet.V, Jakarta: Cineka Cipta, 2007.
Undang - Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1971.
Al-Qur’an
Hadist


Wallahu'a'alam Bisshowab...

Bukan hanya cerita hati: Modernisasi itu.......

Bukan hanya cerita hati: Modernisasi itu.......

Bukan hanya cerita hati: Modernisasi itu.......

Bukan hanya cerita hati: Modernisasi itu.......