Entri Populer

Kamis, 26 Maret 2009

"KESALAHAN" MENURUT HUKUM PIDANA


Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan Remmelink mendefinisikan: “Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat- yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu- terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya”, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang dicela oleh umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink yakni berperilaku dengan menghindari egoisme yang tidak dapat diterima oleh kehidupan dalam masyarakat.

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Artinya, untuk dapat dipidananya suatu perbuatan diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri pembuat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atasnya. Chairul Huda yang melihat kesalahan secara normati menyatakan: “Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya ia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tiga komponen utama, yaitu: ‘dapat dicela’, ‘dilihat dari segi masyarakat’ dan ‘dapat berbuat lain’.”

‘Dapat dicela’ suatu perbuatan dapat diartikan sebagai ‘dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana’ dan ‘dapat dijatuhi pidana’. Arti pertama merupakan kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana dan arti yang kedua dalam hubungannya dengan fungsi represif dalam hukum pidana. Dapat dicelanya pembuat bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidana yang diteruskan secara subyektif sebagai celaan terhadap pembuat. Dalam hal ini celaan terhadap tindak pidana tidak terikat pada moral yang berarti dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, Negara tidak terikat pada sistem moral yang ada dalam masyarakat, tidak terikat pada pandangan ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’ yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat sebagai ukuran ‘moral’ dan ‘tidak moral’. Walaupun lepas dari system moral yang ada dalam masyarakat, namun sebagi perbuatan tercela, pada hakikatnya tindak pidana selalu merupakan perbuatan yang secara moral dicela.

Selanjutnya untuk dinyatakan bersalah, suatu perbuatan harus dipandang dari segi masyarakat. Diuraikan oleh Chairul Huda sebagai berikut:

“’dilihat dari segi masyarakat’ merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Pada subjek hukum manusia, ‘ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan sebagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan”…….”.

Persoalannya justru pada ‘penilaian normatif’ terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan tindak pidananya, sedemikian rupa sehingga orang itu ‘dapat dicela’ karena perbuatan tadi.Dengan kata lain sepanjang subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat. Jadi bukan psikologis yang penting, tetapi penilai normatif terhadap keadaan psikologis pembuat. Memang pengertian kesalahan normatif mengandung di dalamnya pengertian psikologis”.

‘Dapat berbuat lain’ dapat diartikan sebagai adanya pilihan bagi pembuat untuk ‘berbuat’ atau ‘tidak berbuat’ suatu perbuatan yang oleh hukum dicela. Pilihan ini menunjukkan adanya kemungkinan bagi pembuat untuk berbuat lain dan menghindari terjadinya tindak pidana, artinya ada kemungkinan untuk dapat menghindari perilaku menyimpang yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. “kemungkinan dapat dihindari (terjadinya) perilaku menyimpang merupakan lapis pertama untuk menetapkan kesalahan…”. Perlu diingat, bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang melaku kesalahan. Artinya, kesalahan adalah unsur penting dalam pertanggungjawaban pidana, tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.



Ref:

[1] Remmelink, Jan. Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum pidanaBelanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003. Hal. 142

[3] Huda, Chairul. “Dari “Tiada pidana tanap Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”; Tinjauan Kritis Terhadap Teori PemisahanTindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Pranada Media. 2006. Hal. 74


1 komentar:

  1. Wow.. aku baru tahu kalo 'kesalahan' bisa serumit ini.. btw makasih buat ilmunya.. keep in post !

    BalasHapus