Entri Populer

Rabu, 26 Oktober 2011

KINI KHADAFI, SETELAH YANG LAINNYA..

Sekedar Curhat, sekedar meluahkan isi hati, sekedar menuangkan fikiran. Anda tidak perlu sependapat dengan saya, seperti halnya saya juga tidak akan sependapat dengan anda, hanya saja sebagai saudara kita harus tetap saling menghargai atau setidaknya saling mendengar, jika punya waktu kutunggu kau luahkan jua kegelisahanmu sepertiku (itu juga jika anda gelisah) namun jika tidak, paling tidak luangkan sedikit waktumu untuk merasakan betapa gusar dan gelisahnya aku saudaraku……

Melihat Kematian Khadafi sedih tiada terkira hatiku jua bercampur marah, tiba-tiba aku merasa kita sangat lemah, bodoh dan mudah dibodoh-bodohi. Rakyat macam apa yang memperlakukan kejam pimpinan yang memberi kesejahteraan pada rakyatnya?, yang berani melawan setiap kekuatan yang mengancam rakyat dan negaranya. Ia keras secara politis, tapi ia pantas untuk dikatakan Pemimpin Negara Berdaulat sebab ia pemimin yang bebas dari intimidasi dan ancaman siapapun dan besar keberpihakannya pada rakyatnya.
Pertanyaan lebih jauh lagi, siapa yang membakar kejahatan ini?, siapa yang meluapkan kemarahan ini hingga ia berwujud seperti dalam kemarahan iblis?. Puluhan media mengatakan tentang ke-Diktatoran-nya jua mengungkap dan mengatakan tentang kekejamannya dan jutaan lainnya dalam sepi memujinya. Tidakkah kita ingat bahwa tuduhan dan hujatan terhadap Khadafi ini senada dengan tuduhan yang telah dihujatkan pada Saddam Husein di Irak, Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, Ali Abdullah Saleh di Yaman. Mereka memang pemimpin-pemimpin yang keras dan diktator bukan?. Ya saya juga setuju. Tapi bukankah mereka adalah para pemimpin yang dengan tegas mengambil bagian dan tanggungjawab untuk menyejahterakan rakyatnya.

Aku khawatir ini bentuk penjajahan gaya baru bagi Negara-negara Islam, Negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam atau Negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang besar, satu persatu pimpinan yang tidak bisa diancam, diintimidasi dan tidak bisa diajak menjajah rakyatnya dihancurkan melalui kebodohan rakyatnya sendiri, dengan diadu domba serta digali kesalahan pemimpinnya dengan ditunjukkan kesalahan-kesalahan politiknya dan dicitrakan sebagai kejahatan besar, lalu mereka berbondong-bondong mencaci dan mencari jalan untuk menjatuhkan pemimpinnya. Siapa mereka?, rakyat yang cerdas dan peduli?, yang berfikir apa yang akan terjadi dengan negaranya jika terjadi kekosongan kekuasaan?, yang memikirkan akan bagaiman nasib bangsanya kelak?, tidak takutkah mereka sedang menjebak negaranya dan seluruh saudara senegaranya dalam panjajahan gaya baru yang lebih kejam.

Saudaraku, coba kita fikir, adilkah perlakuan terhadap khadafi?. Benarkah kemarahan rakyatnya yang membunuhnya?, atau tangan Iblis yang tak terlihat yang bergerak semu bersama sebagian rakyatnya yang telah mudah dibakar kemarahan itu?. Lalu siapa lagi setelah ini?* (20102011).

TUJUAN SITA JAMINAN

Oleh: Setia Darma, SH



Dalam hukum acara perdata diatur mengenai sita jaminan, yang pada hakikatnya adalah menjamin kepastian hukum atas hak penggugat dan melindungi penggugat dari itikad tidak baik tergugat ketika gugatan penggugat dikabulkan. Kepastian hukum dalam hal ini terkait erat dengan pelaksaan putusan pengadilan ketika gugatan dimenangkan, karena akan sia-sia gugatan jika tidak dapat dilaksanakan hanya karena tidak ada jaminan harta/benda tergugat atas pemenuhan gugatan tersebut.

Menurut Yahya Harahap, pada intinya sita merupakan tindakan yang didasarkan atas perintah pengadilan untuk menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan selama dalam proses pemeriksaan pengadilan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tujuan utama agar harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli, hibah dan sebagainya.

Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau 720 RV, maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 1975 sita jaminan tidak dapat ditetapkan dan putuskan oleh hakim tanpa adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita atas harta/benda baik bergerak mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini merupakan penerapan salah satu asas dalam hukum acara perdata, bahwa hakim bersifat pasif. Artinya, hakim tidak bisa memutus atau menetapkan tentang sesuatu hal tanpa diminta oleh penggugat.

Dengan kata lain sita jaminan yang dilakukan terhadap harta tergugat haruslah berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan negeri dimana kasus tersebut disidangkan, pengajuan sita jaminan diatur dalam Pasal 127 (1) HIR, yang intinya menyatakan bahwa sita jaminan dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan.

Mengenai tujuan pokok penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan pokok penyitaan. Pertama, agar terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum tetap”.

Dilihat dari tujuan pokok tersebut, dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum dan perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya hak penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya. (26102011)

Minggu, 16 Oktober 2011

HAK BERPENDAPAT Vs MARTABAT PRESIDEN (Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006)

Oleh: Setia Darma, SH.


Hak atas kemerdekaan (kebebasan) menyatakan pendapat (freedom of opinion and expression) merupakan hak asasi yang sangat penting dan hal tersebut dilindungi sebagai hak konstitusional semua warganegara RI. Namun ketika pada prakteknya, hak berpendapat dianggap melukai martabat Presiden atau sebaliknya, aturan mengenai Martabat Presiden dianggap menciderai hak konstitusional warganegara untuk mengemukakan pendapat, haruskan salah satunya dieliminir?. Tidakkah sepantasnya sebagai norma keduanya harus dipandang dalam kontek sosial yang melindungi nilai-nilai tertentu?.

Ketika pada prakteknya, keduanya terlihat bertentangan, maka seharusnya mereka dipandang sebagai dua nilai yang saling mengawal dan menjadi penyeimbang masing-masingnya.

Lalu bagaimana dengan putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang kemudian mengeliminir norma dalam KUHP yang mengatur mengenai perlindungan terhadap martabat presiden karena dianggap melanggar hak konstitusional warga negara?.

Konstitusi NRI mengatur bahwa Presiden adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, Presiden secara sosial diakui sebagai penguasa yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengeluarkan kebijakan, menyatakan perang, membina hubungan dengan Negara lain dan sebagainya. Kewenangan tersebut tidak akan dipertanyakan oleh masyarakat, secara internasional sekalipun sebab ketika ia secara yuridis dan politis dinyatakan sebagai Presiden RI, maka secara mutatis mutandis diikuti dengan kewenangannya sebagai Presiden dan iikuti dengan pengkuan secara sosial mengenai keberadaan dan kewenangannya itu.

Sebagai Negara Republik, orang nomor satu di Indonesia adalah Presiden yang melaksanakan kewenangan dan kekuasaannya sesuai dengan konstitusi. Sebagai orang nomor satu di Negara demokratis yang menganut pemilihan langsung, Presiden RI secara politis dan secara sosial menurut ukuran umum masyarakat Internasional ia adalah representasi Bangsa Indonesia. Secara yuridis menjadi keharusan baginya untuk diposisikan sama dalam hukum, keberlakuan aturan dan penegakannya, namun secara politis dan sosial tidak dapat dikatakan sama. Sehingga menjadi keharusan pula baginya untuk mendapat perlindungan lebih secara yuridis dalam posisi dan kewenangannya sebagai representasi bangsa. Maka menjadi tidak relevan justru ketika ia harus dipersamakan secara umum dengan mengeneralisasikannya sebagai salah satu warganegara RI yang sama dengan warganegara RI yang lain.

Putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006 mengenai pengujian KUHP Pasal Pasal 134, 136 bis dan 137 tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI Pasal 28E Ayat (3) selayaknya dikaji ulang dalam perspektif politik dan sosial, tidak hanya mengandalkan teori-teori tentang HAM dalam kerangka individual.
Dalam kerangka sejarah Pasal mengenai penghinaan terhadap martabat presiden diatur untuk melindungi raja/ratu dan keluarganya dari penghinaan yang merendahkan martabat mereka, namun Pasal ini tidak kehilangan relevansinya dalam kerangka negara demokratis. Sehingga ia menjadi sebuah keharusan untuk tetap mengikat.

Penghinaan terhadap Martabat Presiden haruslah dipandang sebagai bentuk kebijakan yang melindungi Negara dari celaan sosial dan melindungi dari serangan politik yang secara sosial akan mengganggu ketertiban dalam masyarakat. Penghapusan terhadap pasal ini justru akan melahirkan subsosialitas yang menurut Jan Remmelink akan menjadi kegelisahan dan penyebab terjadinya kekacauan dalam masyarakat. Menurut remmelink: “perbuatan melawan hukum ikhwalnya berkenaan dengan ketidakadilan, dalam hal kesalahan, ikhwalnya adalah ketercelaan; dan berkenaan dengan subsosialitas, ikhwalnya adalah risiko bahaya yang dimunculkan oleh pelanggar hukum terhadap kehidupan kemasyarakat”( Jan Remmelink, Hukum Pidana komentar atas pasal-pasal terpenting dari KUHP Belanda dan padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta), hal. 194
Artinya, potensi resiko yang akan dimunculkan oleh pelanggar hukum dalam kehidupan bermasyarakat haruslah dipandang sebagai salah satu obyek yang perlu diatur oleh hukum untuk menciptakan tertib sosial dengan kehati-hatian yang obyektif. Karena pada dasarrnya untuk mencegah timbulnya akibat atau resiko yang tidak diharapkan bagi masyarakat hanya dapat dicapai oleh pembuat undang-undang dengan cara melarang atau mengharuskan tindakan tertentu yang berdasarkan pengetahuan, pemahaman dan pandang-pandangan manusia yang melakukannya harus ia pertanggungjawaban.

Pengaturan mengenai perlindungan terhadap nama baik peresiden seyogyanya dipandang sebagai kehati-hatian obyektif yang menjadi norma dengan batasan yang dibuat sedemikian rupa untuk tidak menimbulkan resiko tertentu.
Pengujian yang beralas hak pada kecenderungan yang salah pada penafsiran dan pelaksaannya tidaklah cukup menjadi alasan yuridis untuk dihapuskannya sebuah Pasal dalam Undang-undang, sebab dilihat dari keseluruhan posita dan petitum dari stackholder yang mengajukan Yudicial Review, yang menjadi landasan sosiologis dilakukannya gugatan adalah adanya pelanggaran hak konstitusionalnya dalam penerapan Pasal tersebut. Penilaian terhadap penerapan pasal/ norma tidaklah sama dengan penilaian terhadap norma itu sendiri, artinya jikapun terjadi pelanggaran konstitusi karena penerapan norma, tidaklah membuat norma tersebut dapat dikatakan inkonstitusional sehingga pantas untuk dihapuskan. Tidaklah karena kesalahan seekor tikus yang memakan padi dilumbung padi, menyebabkan beralasan bagi dibakarnya lumbung tersebut.

Manifestasi terhadap perlindungan nama baik, tubuh, rumah tangga, harta benda dan lain-lain haruslah dimengerti dalam konteks sosial sebab hukum pidana memiliki tujuan tertentu dan mendukung nilai-nilai tertentu. Artinya, perlindungan terhadap martabat presiden harus pandang dalam konteks sosial, agar dapat dinilai dalam sudut pandang sosial yang meletakkan Presiden sebagai representasi bangsa sekaligus sebagai Penguasa yang pantas untuk ditaati dalam kerangka ketaatan berbangsa dan bernegara.
Dengan dihapuskannya Pasal tentang Penghinaan terhadap martabat Presiden, maka MK telah melepaskan diri dari kehati-hatian obyektif yang berpotensi bagi terjadinya pelanggaran dalam masyarakat yang secara sosial akan menimbulkan kegelisahan publik.

Sejatinya, kebebasan Pers atau/atau kebebasan dalam menyampaikan pendapat tidaklah sedemian rupa dipisahkan dari kepentingan Negara RI untuk melindungi kepala Negaranya dari celaan sosial yang tidak bertanggungjawab dan berpotensi pada pelanggaran hukum dalam masyarakat sekaligus juga berpotensi pada pelanggaran hak konstitusi presiden sebagai salah satu warganegara RI. Kebebasan dalam konteks sosial adalah kebebasan yang tidak diartikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya atau kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab dan kebebasan yang memperhatikan nilai-nilai moral dalam masyarakat.

Kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers seyogyanya adalah kebebasan yang beretika, tidaklah merupakan kebebasan yang diperbolehkan diwujudkan dalam bentuk celaan sosial atau dalam bentuk lain yang merupakan penghinaan terhadap martabat presiden. Demokrasi memang mengusung sebuah semboyan tentang kebebasan tapi tidaklah ia diceraikan dari etika dan moral begitu saja, ia tetap memiliki ikatan secara relevan dengan itu sebab demokrasi Indonesia adalah demokrasi pancasila yang mengusung kebebasan terbatas yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang bermartabat. Maka dalam konteks sosial Pasal 134, dan 136 bis KUHP tentang Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden tidaklah dapat dikatakan inkonstitusioanl sehingga pantas dihapuskan, melainkan ia konstitusional dan pantas untuk dipandang penting keberadaan dan kekuatan mengikatnya.

Penghapus terhadap Pasal a qou menghilangkan perlindungan terhadap martabat Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang representatif tehadap bangsa Indonesia. Penghinaan terhadap martabat presiden disamakan dengan penghinaan terhadap warganegara biasa yang merupakan delik aduan, sebuah degradasi nilai yang luar biasa besar dalam aturan Pidana Indonesia. Sejatinya di Negara RI moral tidak dipisahkan dengan Hukum dan Demokrasi.

Senin, 13 Juni 2011

TENTANG SITA JAMINAN

Oleh: Setia Darma


Sita jaminan yang diletakkan atas harta tergugat adalah penahanann secara paksa terhadap harta tergugat untuk melindungi hak penggugat dalam hal gugatan dikabulkan, hal ini merupakan bentuk jaminan hukum atas kepastian bagi terlindunginya penggugat dari kesia-siaan atas perjuangan haknya di pengadilan. Sita jaminan yang diletakkan oleh hukum, logikanya mendapat perlindungan hukum dengan seluruh tatanan hukum yang berlaku.

Sita jaminan hanyalah penahan harta tergugat sementara, yang akan menjadi sita eksekusi manakala sita jaminan dinyakan sah dan berharga dalam amar putusan pengadilan. Artinya, sita jaminan akan menjadi sita eksekusi hanya jika telah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap.

Mengenai tujuan pokok penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan pokok penyitaan. Pertama, agar terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum tetap”.

Dilihat dari tujuan pokok tersebut, dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum dan perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya hak penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya.

WISATA GRATIS oleh Departemen Pariwsata dan Kebudayaan Indonesia, Mau??

http://www.indonesia.travel/quiz/index.php?fuid=1381465480

Sabtu, 28 Mei 2011

Sekilas tentang Sita Jaminan

Oleh: Setia Darma


Dalam hukum acara perdata diatur mengenai sita jaminan, yang pada hakikatnya adalah menjamin kepastian hukum atas hak penggugat dan melindungi penggugat dari itikad tidak baik tergugat ketika gugatan penggugat dikabulkan. Kepastian hukum dalam hal ini terkait erat dengan pelaksaan putusan pengadilan ketika gugatan dimenangkan, karena akan sia-sia gugatan jika tidak dapat dilaksanakan hanya karena tidak ada jaminan harta/benda tergugat atas pemenuhan gugatan tersebut.

Menurut Yahya Harahap, pada intinya sita merupakan tindakan yang didasarkan atas perintah pengadilan untuk menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan selama dalam proses pemeriksaan pengadilan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tujuan utama agar harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli, hibah dan sebagainya.

Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau 720 RV, maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 1975 sita jaminan tidak dapat ditetapkan dan putuskan oleh hakim tanpa adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita atas harta/benda baik bergerak mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini merupakan penerapan salah satu asas dalam hukum acara perdata, bahwa hakim bersifat pasif. Artinya, hakim tidak bisa memutus atau menetapkan tentang sesuatu hal tanpa diminta oleh penggugat.

Dengan kata lain sita jaminan yang dilakukan terhadap harta tergugat haruslah berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan negeri dimana kasus tersebut disidangkan, pengajuan sita jaminan diatur dalam Pasal 127 (1) HIR, yang intinya menyatakan bahwa sita jaminan dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan.


Mengenai tujuan pokok penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan pokok penyitaan. Pertama, agar terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum tetap”.

Dilihat dari tujuan pokok tersebut, dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum dan perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya hak penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya.

Sita hanyalah sebatas penjagaan benda/harta tergugat sebagai jaminan semata tanpa bisa dieksekusi jika tidak dilandasi dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, perlu putusan pengadilan yang memenangkan penggugat untuk dapat dilakukannya eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan ketentuan bahwa sah dan bergunanya sita dinyatakan dalam amar putusan pokok perkara serta dikeluarkannya surat penetapan sita dari Pengadilan Negeri di mana perkara telah si sidangkan.

Jumat, 27 Mei 2011

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Oleh:
Setia Darma, SH


A. Pendahuluan
Setiap warga Negara berhak mendapat rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah bangsa dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan dan diskriminasi, termasuk aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tinggal sendiri. Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga haruslah dihapuskan karena merupakan bentuk diskriminasi serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia.
Kekerasan dalam rumah tangga selalu menjadi sesuatu yang mungkin terjadi terutama pada anak dan perempuan sebagai anggota keluarga yang relatif lebih lemah. Oleh karena itu, perlu ada upaya perlindungan terhadap mereka yang menjadi dan mungkin menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.
Upaya perlindungan tersebut diwujudkan oleh pemerintah dengan melahirkan undang-undang yang diharapkan mampu menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga. Lahirnya Undang-undang dimaksud, selain sebagai upaya perlindungan juga merupakan upaya menjaga keutuhan dan kerukunan rumah tangga agar tercipta bahagia, aman, tentram dan damai.
Selain itu, Undang undang ini lahir karena mengingat amanah konstitusi dalam preambule UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “.. membentuk Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Serta dalam Pasal-Pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai perlindungan hak warga Negara sebagai perlidungan hak asasi manusia.
Maka untuk semua hal diatas, Pemerintah Indonesia pada Tanggal 22 September 2004 mengundangkan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


B. Kekerasan yang dilarang dalam UU PKDRT dan Sanksinya
1. Kekerasan Fisik (Ps. 5 a)
Adalah Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Ps.6).
- Kekerasan fisik yang tidak menimbulkan luka berat dan tidak menyebabkan kematian diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta Rupiah); Ps. 44 ayat (1).
- Kekerasan fisik yang mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat diancam pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta Rupiah); Ps. 44 ayat (2).
- Kekerasan Fisik yang mengkibatkan matinya korban diancam pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.45.000.000,00 (empat puluh lima juta Rupiah); Ps. 44 ayat (3).
- Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta Rupiah); Ps. 44 ayat (4).
2. Kekerasan Psikis (Ps. 5 b)
Adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps.7).
- Kekerasan Psikis diancam pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000,00 (sembilan juta Rupiah); Ps. 45 ayat (1)
- Kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta Rupiah); Ps. 45 ayat (2)
3. Kekerasan Seksual (Ps. 5 c)
Kekerasan seksual meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (Ps. 8 a), diancam pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta Rupiah); Ps. 46
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps. 8 b), diancam pidana penjara paling singkat 4 (empat ) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta Rupiah) atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah); Ps. 47
- Kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sekali, mengalami gangguan daya fikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat refroduksi diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah) atau paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah); Ps. 48
4. Penelantaran Rumah Tangga (Ps. 5 d)
Perbuatan yang termasuk dalam Penelantaran rumah tangga adalah:
a. Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut (Ps. 9 ayat (1)). Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 3 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta Rupiah); Ps. 49 a.
b. Perbuatan yang mengakibatkan ketergantuangan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Perbuatan tersebut diancam pidana penjara paling lama 3 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.15.000.000,00 (lima belas juta Rupiah); Ps. 49 b.

C. Peran Serta Masyarakat dalam PKDRT
1. Melakukan kerjasama dengan Pemerintah atau lembaga sosial (Ps. 14);
2. Melakukan pencegahan tehadap kekerasan dalam rumah tangga yang ia dengar, liat atu ketahui; Ps. 15 a
3. Memberi perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga; Ps. 15 b
4. Memberi pertolongan darurat jika melihat, mendengar atu mengetahui adanya kekerasan dalam rumah tangga; Ps. 15 c
5. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga; Ps. 15 d

Rabu, 25 Mei 2011

Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Pendahuluan
Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang akan menciderai kemuliaan harkat dan martabat manusia haruslah diberantas dengan berbagai upaya.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang berdaulat dan bermartabat memiliki cita cita luhur yang tercantum dalam preambule UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk turut serta menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas muka bumi dan berjanji untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Perdagangan orang merupakan salah satu kejahatan terhadap hak asasi manusia serta merendahkan harkat dan martabatnya, ia berupa bentuk modern dari perbudakan dan penjajahan terhadap manusia yang mengancam kebebasan dan harga diri bangsa. Perdagangan orang, yang rentan terjadi khususnya pada perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan yang terorganisir dan tidak terorganisir yang bersifat transnasional. Perkembangan baik modus maupun bentuk perdagangan orang yang begitu pesat tidak bisa dijawab oleh peraturan perundang-undangan yang ada, hal menimbulkan keinginan yang besar dari Indonesia untuk melahirkan aturan yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan tentang perdagangan orang.
Keinginan Indonesia untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerjasama serta menimbang perlu adanya aturan yang komprehensif dan menyeluruh dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka Republik Indonesia pada Tanggal 19 April 2007 mengundangkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).


B. Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam UU PTPPO dan Sanksinya

1. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
- Setiap Orang
- Melakukan: perekrutan/ pengangkutan/ penampungan/ pengiriman/ pemindahan / penerimaan seseorang
- Dengan: ancaman kekerasan / penggunaan kekerasan / penculikan/ penyekapan / pemalsuan / penipuan / penyalahgunaan kekuasaan / penyalahgunaan posisi rentan/ penjeratan utang/ memberi bayaran/ member manfaat
- Memperoleh/ tidak memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
- Untuk Tujuan eksploitasi orang tersebut/ mengakibatkan orang tereksploitasi
- Di Wilayah Negara Republik Indonesia
- Diancam Pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Dalam hal tindak pidana ini dilakukan oleh kelompok terorganisir, maka ancaman untuk setiap pelaku ditambah 1/3 (sepertiga).
- Dalam hal tindak pidana ini dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
2. Pasal 3
- Setiap Orang
- Memasukkan orang ke wilayah Negara Republik Indonesia
- Dengan maksud
- Untuk dieksploitasi
- Di wilayah Negara Republik Indonesia/ di Negara lain
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Dalam hal tindak pidana ini dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
3. Pasal 4
- Setiap orang
- Membawa
- Warga Negara Indonesia
- Keluar wilayah Negara Republik Indonesia
- Dengan maksud
- Untuk dieksploitasi
- Di luar wilayah Indonesia
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
- Dalam hal tindak pidana ini dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
4. Pasal 5
- Setiap Orang
- Melakukan pengangkatan anak
- Dengan menjanjikan sesuatu/ memberikan sesuatu
- Dengan maksud
- Untuk dieksploitasi
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
5. Pasal 6
- Setiap orang
- Melakukan pengiriman anak
- Keluar / ke dalam negeri
- Mengakibatkan anak tereksploitasi
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
6. Pasal 7
- Tindak pidana pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6
- Mengakibatkan korban menderita luka berat/ gangguan jiwa/ penyakit menular yang membahayakan jiwa/ kehamilan/ (terganggu/hilangnya) fungsi reproduksi
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); dan
c. Ditambah 1/3 (sepertiganya)
- Jika mengakibatkan kematian
- Diancam Pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar).
7. Pasal 8
- Setiap penyelenggara Negara
- Menyalahgunakan kekuasaan
- Mengakibatkan terjadinya Tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); dan
c. Ditambah 1/3 (sepertiganya); dan
d. Dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatan
8. Pasal 9
- Setiap orang
- Menggerakkan orang lain
- Supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang
- Dan tindak pidana tersebut tidak terjadi
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,00 (du ratus empat puluh juta rupiah); dan
9. Pasal 10
- Setiap orang
- Melakukan percobaan
- Melakukan tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); dan
10. Pasal 11
- Setiap orang
- Merencanakan/ melakukan permufakatan jahat
- Melakukan tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
11. Pasal 12
- Setiap orang
- Menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang
- Dengan cara melakukan persetubuhan/ perbuatan cabul/ mempekerjakan
- Untuk meneruskan praktek eksploitasi/ mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
12. Pasal 13
- Korporasi
- Melakukan tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana dengan pemberatan 3 (tiga) kali lipat:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah); dan
c. Pidana tambahan, berupa:
1) Pencabutan izin usaha
2) Perampasan kekayaan hasil tindak pidana
3) Pencabutan status badan hukum
4) Pemecatan pengurus; dan/atau
5) Pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama
13. Pasal 19
- Setiap orang
- Memberikan keterangan palsu/ memasukkan keterangan palsu/ memalsukan
- Pada dokumen Negara atau dokumen lain
- Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta) dan paling banyak Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta)
14. Pasal 20
- Setiap orang
- Memberikan kesaksian palsu/ menyampaikan (alat/barang) bukti palsu/ mempengaruhi saksi
- Secara melawan hukum
- Di siding pengadilan tindak ppidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta) dan paling banyak Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta)
15. Pasal 21
- Setiap orang
- Melakukan penyerangan fisik
- Terhadap saksi atau petugas
- Di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun; dan
- Pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta)

- Jika menyebabkan saksi/ petugas luka berat
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta)
- Jika menyebabkan saksi/ petugas di persidangan mati
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus puluh juta)
16. Pasal 22
- Setiap orang
- Dengan sengaja
- Mencegah/ merintangi/ menggagalkan
- Secara langsung atau tidak langsung
- Penyidikan/penuntutan/ pemeriksaan di sidang pengadilan
- Terhadap tersangka/ terdakwa/ saksi perkara perdagangan orang
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta)
17. Pasal 23
- Setiap orang
- Membantu pelarian
- Pelaku tindak pidana perdagangan orang
- Dalam proses peradilan
- Dengan: Memberikan/ meminjamkan (uang/barang/harta kekayaan lain) kepada pelaku/ Menyediakan tempat tinggal kepada pelaku/ menyembunyikan pelaku/ menyembunyikan informasi keberadaan pelaku
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta)
18. Pasal 24
- Setiap orang
- Memberitahukan identitas saksi/ korban
- Padahal telah diberitahukan padanya bahwa identitas saksi/ korban harus dirahasiakan
- Diancam pidana:
a. Dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun; dan
b. Pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta) dan paling banyak Rp. 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta)

C. Peran Serta Masyarakat dalam PTPPO
Peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dalam diwujudkan dalam beberapa tindakan sebagai berikut:
1. Memberkan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib;
2. Turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.

Rabu, 09 Maret 2011

UNTUK NEGERI YANG TERLUKA

By: Me

Dentum kematian bergema disana..., mesir, yaman, yordania, libia, iran
setelah bergema di lebanon...
setelah di poso -Indonesia..
setelah di irah..
setelah dipalestin..
setelah dibosnia..
setelah di....
Dan banyak lagi ditaman hati kaum Muslimin..

Iblis-Iblis itu menjadi penabuhnya...
Tak punya rasa.. tak punya Tuhan..
Iblis-Iblis itu.. kukutuk dengan dan Jiwa

Desir Darah...
Mengalir melalui kulitku
merembes dalam tanah pijakan..
meresap dalm getar-getar do'a penuh harap,

Duhai Tuhan... Pemilik setiap Jiwa
Kumohon tolong mereka..
saudara-saudaraku yang terluka jiwanya..
yang terhempas negerinya..
yang terampas cintanya..
Tuhan... Kumohon... Kumohon...
Ya Roob... ya Mujibassa-iliin...