Entri Populer

Jumat, 31 Oktober 2008

hukum tidak mati

"hukum kita sudah mati", kata seorang teman ketika menanggapi banyaknya ketidak pastian pada koruptor yang masih bebas berkeliaran, "maling ayam ditangkap, yang maling kandangnya bebas" ungkapnya lagi...Hm.. (masalahnya kandangnya dimaling setelah tidak ada ayamnya he..he..).



Tidak!, bukan itu, maksudku temanku benar... bahwa terkadang tidak ada kepastian hukum bagi pelaku kejahatan "kerah putih". Tapi tentu kita tidak bisa begitu saja mengatakan "hukum telah mati", itu tidak bijak menurut saya. karena kalau kita bicara soal "hukum itu mati", maka konteksnya "hukum itu mati" (siapa yang berani bilang hukum punya nyawa? :)....). Oke, kita tidak perlu memperdebatkan penggunaan "kiasan" tersebut, kita anggap semua mengerti apa yang dimaksud dengan istilah "hukum itu mati", "mati" dalam arti fungsi dan perannya, sepakat?. Yang perlu kita lihat adalah penegaknya, orang- orang yang terkait erat pada pengaturan, pengawasan dan penegakannya.



Hukum adalah aturan yang tidak akan punya arti jika para penegaknya tidak "menegakkannya", hukum hanya sebuah alat, perlu orang-orang yang "tidak mati hatinya" untuk menjadikan hukum berfungsi sebagaimana mestinya. Siapa mereka?



Itu yang perlu kita yakini...(yakini?..). ya, yang perlu kita yakini karena memang sangat sulit untuk kita cari, jadi setidaknya hari ini kita yakini bahwa para penegak yang tidak mati hanya itu ada. Mereka da adiantra oarang-orang yang "mati hatinya", kita hanya berdoa' agar dia akan muncul kepermukaan untuk jujur dalam menegakkan hukum dan mendedikasikan ilmu dan kemampuannya untuk menegakkan keadilan.



Apapun tanggapan anda, setidaknya aku yakin bahwa masih ada "mereka" yang sungguh-sungguh tulus dan jujur menegakkan keadilan, tapi untuk lebih 'vocal' dan muncul kepermukaan, mereka butuh bantuan dan dukungan kita semua. Oleh sebab itu, aku dengan yakin memastikan bahwa "hukum tidak mati". Jadi bagaiman kalau kita berjalan seiring satukan langkah dalam bidang apapun anda untuk "menghidupkan hukum", mulailah kita dengan "diri sendiri" untuk jujur dan menolak kekayaan yang datang dari 'jalan' yang tidak BENAR. bagaimana, setuju?

Kamis, 30 Oktober 2008

kejahatan dunia maya

Kemajuan teknologi yang menawarkan komunikasi dua arah dengan kecepatan dan daya jangkau lintas Negara, bahkan lintas Benua yang kemudian menjadi awal dicetuskannya “era’ yang disebut “globalisasi” yang ditandai dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas dan penghapusan bea impor barang antar negara-negara Asean Free Trade Area / North American Free Trade Agreement (AFTA/NAFTA). Tiap negara akan memicu dan memacu komoditi unggulannya agar dapat terus bertahan dan mampu bersaing dengan negara lainnya. Secara individu, semua orang dituntut untuk menyeimbangkan dirinya, kemampuannya, cara berfikir dan intelektualnya dengan semua hal yang terkait dengan era ini.
Kondisi struktural institusi bisnis negara-negara di dunia akan menghadapi pakem baru, dideregulasi sedemikian rupa sehingga meninggalkan pakem monopolistik protektif yang mulai usang, menjadi pakem liberalisasi dan privatisasi. Hal tersebut akan mengubah peta persaingan ekonomi antar negara tersebut menjadi lebih terbuka dan transparan. Tiap negara kini tengah mempersiapkan stimulan peningkat daya saing komoditi mereka.
Peta persaingan global tersebut akan semakin dipermudah oleh kenyataan teknologi yang semakin menjanjikan kecepatan dan kemudahan melalui jaringan komunikasi dimensi ketiga yang telah lahir melalui penggabungan komputer dengan telekomunikasi, sebuah fenomena luar biasa yang telah mengubah konfigurasi model komunikasi konvensional. Menurut Didi M.Arief Mansur, “ Jika dimensi pertama adalah kenyataan keras dalam kehidupan empiris (hard reality), dimensi kedua adalah kenyataan dalam kehidupan simbolik dan nilai-nilai yang dibentuk (Soft reality), maka dimensi ketiganya adalah kenyataan maya (virtual reality)”[1].
Dalam dimensi ketiga inilah dunia berada dalam satu jaringan komputer yang terhubung di seluruh dunia, yang pada perkembangannya dikenal dengan istilah internet (internasional network), yang oleh Budi Sutedjo didefinisikan sebagai “sebuah jaringan komputer yang sangat besar yang terdiri dari jaringan-jaringan kecil yang saling terhubung yang menjangkau seluruh dunia”[2]. Kondisi ini menjanjikan perkembangan dan kemajuan luar biasa bagi seluruh manusia di dunia, transparansi yang diharapkan, kemudahan, kecepatan, kebebasan dan semua bentuk simbolik dari kesejahteraan tergambar pada awal lahirnya jaringan ini. Namun, seperti halnya teknologi-teknologi sebelumnya selain menunjukkan kemajuan dan menjanjikan hal-hal luar biasa dalam kehidupan, iapun menjanjikan sebuah risiko besar bagi kesejahteraan itu sendiri.
Nyaris semua orang, pembuat bisnis nasional dan Internasional ,menjadikan internet sebagai fasilitas, bahkan menjadikannya sebagai transportasi kilat dalam menjalankan bisnisnya. Mulai dari transfer antar perusahaan, jual-beli jarak jauh, gaji karyawan, pemasaran, hingga komunikasi dua arah “dunia maya” (cyberspace).
Saat ini, sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bahwa internet adalah sarana transaksi perbankan nasional dan internasional, suatu system yang nyaris sempurna, tapi bukan berarti tidak memiliki kelemahan. Dari sekian banyak kemudahan yang ditawarkan, ada sekian banyak risiko yang mengiringinya. Hal ini pula yang kemudian menjadi kesulitan bagi hukum ketika bersentuhan dengan pola-pola kejahatan modern tersebut, mengingat hukum sendiri terikat pada asas legalitas” Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Sebuah pertanyaan besar muncul kemudian, mampukah hukum nasional Indonesia mengatasi pola-pola kejahatan tersebut, mengingat perkembangan yang ada akan berdampak besar bagi perubahan sosial masyarakat, sedangkan undang-undang pada umumnya selalu tertinggal di belakang perkembangan dan perubahan sosial tersebut. Namun, bukan itu yang akan penulis analisis dalam tulisan ini, oleh karena itu penulis tidak akan banyak menyentuh mengenai relevansi aturan –aturan yang ada untuk menjerat pembuat kejahatan melalui internet.
Pada akhirnya resiko yang timbul kemudian, mematahkan kemudahan-kemudahan yang ada. Hidup dengan segala kemudahan tersebut melahirkan kekhawatiran, kejahatan dan pelanggaran dalam berbagai modus timbul seiring perkembangan teknologi . Kejahatan yang oleh Barda Nawawi Arief disebut sebagai: “kejahatan berdimensi baru”[3] ini berkembang dengan berbagai istilah; cyber space, virtual space offence, dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnasional crime atau dimensi baru dari white collar crime. Istilah-istilah tersebut secara substansi tidak mempengaruhi apa yang dimaksud dengan kejahatan dimensi baru ini, walaupun pada perkembangannya lebih sering digunakan istilah cyber crime, kejahatan dunia maya atau oleh Barda nawawi Arief digunakan istilah kejahatan Mayantara.
Penulis sendiri dalam tulisan ini akan menggunakan istilah “cyber crime” sebagai kesatuan istilah agar tidak terjadi penggunaan istilah secara bergantian yang akan menimbulkan kesimpang – siuran yang tidak diharapkan. Pemilihan istilah cyber crime oleh penulis tidak memiliki alasan ilmiah yang dapat penulis pertanggung jawabkan, karena pada dasarnya para ahli hukum di Indonesia banyak menggunakan istilah yang berbeda dan belum ada ketetapan secara permanen. Secara sederhana pemilihan istilah ini hanya untuk mempermudan penulis dan pembaca dengan satu istilah yang penulis bakukan sendiri dalam tulisan ini.
Dalam perkembangannya cyber crime tidak hanya terlahir dalam satu jenis kejahatan melainkan berbagai jenis, baik yang menggunakan komputer sebagai alat/sarana maupun yang menjadikan komputer sebagai objek. Dikatakan oleh Didik M. Arief Mansur dalam bukunya Cyber Law bahwa: “Ada ahli yang menyamakan antara cyber (cybercrime) dengan tindak kejahatan komputer, dan ada ahli yang membedakan di antara keduanya”[4]. Menurut mereka yang membedakan kedua modus kejahatan tersebut, kejahatan komputer biasa tidak menggunakan jaringan internet melainkan hanya menggunakan komputer sebagai alat kejahatan atau objek kejahatan, sedangkan kejahatan komputer berbasis internet adalah semua kejahatan komputer yang menggunakan jaringan internet untuk melakukan kejahatan. Menurut Didik M. Arief bahwa:
“Meskipun belum ada kesepahaman mengenai pendefinisian kejahatan Teknologi Informasi, namun ada kesamaan pengertian universal mengenai kejhatan Komputer. Secara umum yang dimaksud kejahatan komputer atau kejahatan di dunia cyber (cybercrime) adalah ‘upaya memasuki atau menggunakan fasilitas komputer tanpa izin dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut’”.[5]

Cyber crime sebagai satu bentuk kejahatan berdimensi baru seperti halnya dengan dua jenis kejahatan yang juga dapat disebut “baru’ yakni blue collar crime (kejahatan kerah biru) dan white collar crime (kejahatan kerah putih), cyber crime dapat terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya; pembajakan, pornografi, pemalsuan dan pencurian kartu kredit, penipuan lewat email, perjudian on-line, pencurian dan penggunaan account internet milik orang lain, terorisme, isu SARA, situs sesat, pencurian data pribadi, pembuatan dan penyebaran virus komputer, pembobolan situs, cyber war, pembajakan situs, deniel of service (DoS), distributer DoS Attack, Nama domain dll.
Salah satu bentuk dari Cyber crime diatas adalah kejahatan Nama domain (cyber squatting) yang merupakan kejahatan pendaftaran merek dagang atau nama yang memiliki nilai komersial. Kejahatan Nama domain dapat terjadi dalam tiga bentuk[6]. Pertama, mendaftarkan nama domain badan usaha, organisasi, orang lain atau pihak lain di luar dirinya kemudian dijual pada pemilik nama domain tersebut dengan harga yang jauh lebih mahal (cyber squatter). Jenis pertama ini mirip calo karcis yang tujuan utama mencari keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Kedua, membuat domain plesetan (typosite) yang juga bertujuan mencari keuntungan. Domain plesetan ini biasanya didaftarkan untuk menjerat pengguna internet masuk dalam situs yang diinginkan pembuat untuk diarahkan dengan maksud tertentu, atau dalam bentuk lain seperti kasus klikbca.com, dimana situs klikbca.com diplesetkan menjadi clikbca.com, clikbac.com dan klikbac.com. Dalam kasus ini pelanggan yang salah ketik klikbca.com, kemungkinan besar akan masuk dalam situs plesetannya. Modus ini bertujuan untuk membuat pelanggan memasukkan nomor pinnya, ketika pin sudah masuk kedalam situs plesetan, maka pembuat akan mudah menarik account pelanggan yang terjebak.
Bentuk cyber squatting yang ketiga adalah mendaftarkan nama domain saingan yang lebih papoler darinya (Parasites)[7], pendaftaran domain saingan ini dapat terjadi dengan beberapa alasan. Pertama, membajak situs saingan dengan tujuan membatasi pemasaran saingannya tersebut. Kedua, menjaring pelanggan saingan untuk masuk dalam situs tersebut kemudian diarahkan untuk masuk dalam server tertentu pada situs tersebut dan yang terakhir, bertujuan merusak nama baik saingan dimata pelanggannya melalui Nama domain saingannya tersebut.
Menjadi hal menarik di awal lahirnya Undang-undang baru Indonesia No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Selanjutnya akan disebut UU ITE), diatur sebuah pasal yang khusus mengatur tentang nama domain; prinsip pendaftaran dan dasar-dasar pendaftarannya. Menjadi pertanyaan yang cukup ramai setidaknya dikalangan pengguna aktif net dan blogger-blogger Indonesia ketika diatur secara khusus unsur itikad baik dalam pendaftaran nama domain; bagaimana dan sejauh apa sebuah tindakan pendaftaran nama domain dinyatakan memiliki itikad baik atau itikad tidak baik.
Menjadi ketakutan tersendiri bagi bloger Indonesia mengingat nyaris setiap blogger memiliki blog dengan nama domain yang terkait nama badan hukum dan/atau nama selain dirinya, sekaligus menimbulkan pandangan pesimis dari banyak kalangan mengenai penentuan itikad baik dan penegakan hukum terhadap tindakan yang diduga memenuhi unsur itikad baik. Kekhawatiran yang logis dari konsekuensi sebuah aturan yang harus ditegakkan, namun belum memiliki ukuran-ukuran jelas, sedangkan bentuk-bentuk pendaftaran nama domain orang lain telah lahir dalam berbagai jenis; mulai dari pendaftaran nama domain yang sama seutuhnya, sebagian hingga pendaftaran nama domain yang disamakan bidangnya.
[1] Mansur, Didi M.Arief. Cyber law; Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung: Refika Aditama, 2005. hal.2
[2] Oetama, Budi sutedjo dharma. E-Education; Konsep Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta: Andi. 2002. hal. 52
[3] Arief, Barda Nawawi. Tindak Pidana Mayantara. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. 2006.hal. 1
[4] Mansur, Didi M.Arief. Op. Cit hal. 6
[5] Ibid hal. 8
[6] Rahardjo, Budi. Memahami teknologi informasi; menyikapi dan membekali diri terhadap peluang dan tantangan teknologi informasi. Jakarta: Elekmedia Komputindo. 2002. hal. 116
[7] Mansur, Didi M.Arief. Op. Cit hal. 88

itikad baik menurut hukum

A. ITIKAD BAIK.
a. Pengertian
Itikad Baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Selanjutnya akan disebut KUHP), Untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya akan disebut KUHPer). Mengenai itikad baik dalam KUHPer Pasal 1338 ayat 3dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUHPer dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”.
Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa[1]: "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa dipengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary.
Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”[2].
Dalam Black’s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense.”[3]. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut[4]: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai berikut[5]:
Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.


Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa[6]: " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".
Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa[7]: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.
Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut.
[1] Faiz, Muhammad. Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan. www.panmuhamadfaiz.co. 12 September 2006
[2] Khoirul. Hukum Kontrak. Slide 1. Ppt. Http//: Sunan-ampel.ac.id
[3] Ibid.
[4] Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Hal.112
[5] Nur, Muliadi. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). www.pojokhukum.com
[6] Faiz, Muhammad. Kemungkinan diajukan Perkara… Op.cit.
[7] Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pasca Sarjana FH-UI. 2003. Hal. 190

Ta'aruf dulu

Alhamdulillah...
ini blog baru atas namaku... hm.. senang!...
karena baru lebih baik kita kenalan dulu, kan "tak kenal maka tak sayang", masih ingat idiom itukan?, walau klasik tapi belum basi untuk kita pakai he...

Aku, mahasiswi fakultas hukum sebuah univ swasta dijakarta. Oh, lebih fair kalau kusebut nama universitasku..hm.. Aku jurusan ilmu hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta, sekarang sedang menyusun skripsi.

Ah, jangan fikir aku akan jadi jaksa atau bercita-cita jadi pengacara handal, tidak aku tidak mengidamkan itu.. aku lebih tertarik menjadi ahli hukum... kuliah lagi.. menjadi penulis... sekaligus menjadi dosen, menurutku itu cita-cita yang paling ideal untuk kuraih dan kuperjuangkan.

Kalian bertanya-tanya kenapa aku tidak tertarik jadi jaksa atau pengacara handal?, hm.. alasanku subyektif sekali, tapi setidaknya alasanku cukup kuat dan syar'i untuk itu. Hm.. aku tidak perlu ungkapkan alasanku, kalian boleh menerka-nerka saja. Karena alasanku kuanggap benar, tak perlu dibahas, bukankah ALASAN SELALU BENAR UNTUK YANG MEMBERI ALASAN??!?..

hm... aku memang sedikit-banyak keras kepala. Eh, maksudku aku tidak sedikit, tapi BANYAK keras kepalanya.. he... keras kepala tidak terlalu buruk untuk mempertahan pendapatmu sebelum kamu mendapat hujjah yang lebih kuat untuk mengalah... (bukan!, maksudku untuk KALAH)... :).

Oiya, tentu kita tidak perlu membahas terlalu banyak mengenai hal pribadiku.. setidaknya kita cukup kenal, aku cukup senang dipanggil TIA. So, panggil aku tia saja.

Okey, sampai ketemu ditema berikutnya, semoga lebih menyenangkan.

salam...