Entri Populer

Kamis, 15 Juli 2010

CERITA SEKILAS TENTANG ETIKA HAKIM

By: Setia Darma,SH.

Pada bagian ini, saya akan berbagi cerita lama yang saya temukan dalam lembaran-lembaran catatan saya. Sebuah kasus sederhana yang ternyata tersemat dalam ingatan. Kasus ini bukan merupakan kasus yang biasa terlihat ditelevisi atau diangkat menjadi sorotan public. Namun, kebenaran cerita yang penulis angkat dapat penulis pertanggung jawabkan.

Beberapa waktu lalu (sudah cukup lama, menurut tanggal dicatatan saya; ini terjadi 2 tahun lalu), saat itu saya masih kuliah tapi kejadian ini saya catat dan menjadi dokumen pribadi saya.

Saya dengan teman-teman mengadakan perjalanan ke ‘sebuah’ pengadilan Negeri (emang pengadilan buah-buahan???... ). Kami berniat menonton peradilan tentang korupsi XY dalam acara pembacaan eksepsi, karena pembacaan eksepsi yang begitu panjang dari terdakwa yang kemudian disusul dengan pembacaan eksepsi dari pensehat hukumnya. Saya memutuskan untuk melihat proses sidang diruang lain.

Sebuah sidang sedang berlangsung di ruang 4, saya tidak ingat persis apa nama ruang sidang tersebut. disana saya melihat hakim ketua sidang membaca putusan, saya putuskan untuk masuk dan mendengarkan.

Terdakwa pada pesidangan tersebut adalah seorang perempuan muda berinisial LMT Ia didakwa Pasal 78 ayat (1) Huruf a Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang narkotika.

Yang Hakim menurut catatan Panitera pengganti adalah 3 (tiga) orang terdiri dari K, E dan ER, namun seorang diantara mereka tidak hadir. Dalam putusannya, hakim memutus terdakwa dipidana penjara 1 tahun 6 bulan dengan denda I juta subsidair 1 (satu) bulan.

Setelah membacakan putusan, hakim berkata pada terdakwa kira-kira seperti ini:
“ Saudari, itu tadi adalah putusan untuk kamu, kamu mengerti?’ terdakwa mengangguk.
Hakim bertanya lagi “Putusan itu ringan karena kamu tidak punya penasehat hukum, jadi kamu terima saja… atau kamu mau mengajukan banding?”
“ya” kata terpidana pelan sambil mengangguk, hakim tersebut menyambung lagi
“oh, jadi kamu mau ngajukan banding?, pak jaksa dia mau mengajukan banding katanya he…he…” sambil tersenyum yang terkesan sinis.
Peradilan ditutup, terpidana dibawa oleh jaksa.
Sedih, miris dan terluka saya melihat peradilan itu berlangsung….
Tapi dalam tulisan ini saya bukan untuk berbagi keresahan, sakit hati atau sejenisnya. Saya hanya ingin sedikit mengulasnya secara filosofis dari sisi hukum. Ada dua pelanggaran yang dilakukan oleh hakim tersebut, pelanggaran Etika dan pelanggaran aturan.


1. Bagian yang merupakan pelanggaran Etika

Dari deskripsi kasus diatas, kalimat hakim serta sikapnya tidak layak untuk dicerminkan oleh seorang hakim. Kalimat tersebut menimbulkan tekanan psikologis pada terpidana yang pada saat itu mentalnya sedang rapuh, yang pasti ia tidak membutuhkan pandangan sinis dari siapapun saat itu, karena hal tersebut akan membuatnya pesimis menghadapi kenyataan selanjutnya atau bahkan akan pesimis terhadap masa depannya.
Selain itu, sikap hakim tersebut melanggar kode etik Hakim yang tertuang secara jelas dalam salah satu keputusan munas XII IKAHI tanggal 30 Maret s/d 1 April 1998 di Hotel kartika Chandra Jakarta. Yang diantaranya menyatakan bahwa hakim;
1. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam huku acara yang berlaku.
2. Tidak dibenarkan besikap menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara.
3. Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan


2. Aturan yang dilanggar.

Perbuatan hakim tersebut melanggar ketentuan KUHAP (Kitab Undang-undang hukum acara pidana) Pasal 158 yang menyatakan bahwa Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidakanya terdakwa. Memang pada kenyataannya hakim sudah memutus perkara, yang artinya terdakwa telah terbukti bersalah, tapi perlu dipertimbangkan bahwa terpidana sedang mencari keadilan yang ia rasa belum ia temukan untuk dirinya, sikap hakim diatas secara materiil dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap KUHAP.

Pertanyaannya adalah, jika kita yang menjadi hakim itu bisakah kita berlaku lebih bijak, dengan memandang Ms. LMT sebagai “manusia” yang harus “dimanusiakan”, dihargai sebagai ‘manusia’ lalai yang dipidana untuk diluruskan, bukan dipidana untuk dihina/dicemooh.

Ini hanya sebagian cerita dari banyak cerita lainnya dalam praktek peradilan kita, “fenomena yang tidak luar biasa”.

Wallahua’alam Bisshowab.