Entri Populer

Kamis, 17 Desember 2009

AL- MASLAHAT AL-MURSALAT

By: Setia Darma


Dalam Ilmu ushul Fiqh al-mashlahat al-mursalat adalah suatu mashlahat yang tidak ditetapkan oleh syar’I sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar’I yang menyatakan keberadaannya atau keharusan untuk meninggalkannya . Ia merupakan metode penerapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-qur’an dan Hadist, sehingga dialkukan pelacakan hukum untuk menemukan hukumnya dan bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Zuhairi Misrawi Metode al-mashlahat al-mursalat adalah metode pelacakan hukum yang paling standar .
Al-mashlahat al-mursalat sangat menekankan pada kemashlahatan secara umum, sehingga proses penemuan hukumnya sangat tergantung kepada kebaikan secara umum yang dirasakan seluruh masyarakat atau setidaknya sebagian besar masyarakat. Sebagai sebuah metode pelacakan hukum, almashlahat al-mursalat merupakan metode standar yang ditawarkan oleh Imam Malik.
Imam Malik adalah ahli Hadist sekaligus ahli fiqh, hidup pada kurun waktu 93 H-170 H atau 715 M- 795 M. Beliau merupakan pencetus Madzhab Maliki dengan bukunya yang terkenal yakni Al- Muwattha’. Di Hijaz Beliau diberi gelar Saydi Fuqaha Al-Hijaz (penghulu para ahli fiqh di seluruh negeri Hijaz) .


Dasar Hukum Al-mashlahat al-mursalat

Keberadaan al-mashlahat al-mursalat merupakan pemenuhan terhadap prinsip-prinsi hukum Islam. Pertama, Islam sebagai Rahmatullil’alamin selalu tidak memberatkan,
Firman Allah swt dalam Al-qur’an yang Artinya:
“Allah tidak membebani manusia, melainkan sekedar kuasanya” (QS: Albaqoroh:286)

Firman Allah dal QS Al-Baqoroh yang artinya Artinya:
“Allah menghendaki keringanan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran” (QS: Al-baqoroh: 185)

Artinya:
“Allah tidak menghendaki untuk menjadikan sesuatu kesempitan bagimu”
(QS: Ali-Imran: 6)
Didukung pula oleh Hadist Rosul, sbb:

Artinya:
“ Tidak boleh memudharatkan orang dan tidak boleh dimudharatkan orang” (HR. Al-Thabrani).
Kedua, Memperhatikan kemaslahatan manusia, bahwa hubungan sesama manusia merupakan manifestasi dari hubungan degan sang pencipta. Jika baik hubungan antar manusia maka baik pula hubungan dengan penciptanya. Oleh sebab itu, perlu diatur hukum yang jelas dan mengutamakan kemashlahatan umum, dngan cara menetapkan hukum sesuai kebutuhan masyarakat. Didukung oleh kaidah Fiqh:

Artinya:
“Tidak diingkari adanya perubahan hukum disebabkan oleh perubahan masa”


Alasan adanya Al-mashlahat al-mursalat

Fenomena social dalam masyarakat Islam yang cenderung lebih kompleks dari aturan islam yang ada, ditambah pula dengan kenyataan bahwa banyak hal dalam kehidupan masyarakat yang belum diatur secara jelas, definitif dan terperinci dalam Al-qur’an dan hadist, walaupun telah termuat asas-asasnya secara umum. Kondisi tersebut menuntut para ulama untuk melakukan ijtihad sebagai pengisi kekosongan hukum yang timbul.
Banyak kemudian metode Ijtihad yang dicetuskan sebagai upaya pencarian dan penemuan hukum tersebut, diantaranya adalah Ijma’ ulama dan qias. Ijtihad sendiri merupakan usaha yang optimal dari fuqaha untuk menemukan hukum berdasarkan al-qur’an dan hadist atas suatu peristiwa yang baru karena belum ada ketentuannya dalam wahyu. Aturan bakunya bahwa yang dapat melakukan Ijtihad adalah mujtahid, yakni orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut; mempunyai pengetahuan mendalam tentang Al-qur’an, sunnah Nabi, tarich, Ilmu masyarakat serta yang bermoral tinggi atau adil. Dalam ilmu Ushul Fiqh Syafi’i “Al-Risalah” dikenal beberapa tingkatan mujatahid sebagai berikut:
a. Mujtahid mutlak ialah para iamam Madzhab yang kebebasannya melakukan ijtihad hampit tidak terbatas.
b. Mujtahid Madzhab ialah mujtahid yang kebebasan Ijtihadnya terbatas pada madzhabnya, yakni mengenai materi (hal) yang belum ada dalam madzhabnya.
c. Mujtahid Fatwa ialah ulama penganut suatu madzhab dalam menghadapi berbagai pendapat ulama yang berbeda-beda mengenai satu materi dalam madzhabnya, maka ia berwenang menyatakan pilihannya.
persamaan pendapat / pandangan antara para Fuqaha (Mujtahidin) mengenai hukum suatu kasus/ peristiwa yang baru dalam mayarakat . Ijma’ yang dalam istilah barat disebut consensus merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-qur’an dan hadist, yang menjadi obyek Ijma’ adalah semua bidang keagamaan dan kemasyarakatan yang belum ada aturannya dalam al-qur’an dan hadist. Beberapa hal yang menjadi landasan dibenarkannya Ijma’ sebagai salah satu sumber hukum Islam, yakni:
1). Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat:115; yang artinya:
“Dan barang siapa menentang Rosul sesudah jelas kebnrana baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu , dan kami masukkan ia keda;lam jahanam,…” (QS: An-nisa’:115)
2). Dari salah satu hadist Shahih yang berarti bahwa umatku (Sabda nabi) tidak akan bersepakat ( persamaan pendapat) tentang hal-hal yang menyesatkan. Menurut penafsiran acontrario bahwa bila ada terjadi persamaan pendapat umat islam mengenai hukum, maka disebut Ijma’i dan menurut cara-cara tertentu ia mengikat umat islam.
3). Dalil logika, bahwa islam itu adalh suatu agama bukan saja mengandung ajaran-ajaran tentang kepercayaan kepada ketuhanan (alam gaib) dan tatcara menjaga hubungan baik dengan Tuhan atau ketuhanan (Ibadat) tetapi juga berisikan ajaran untuk mengatur hidup masyarakat secara universal sesuai dengan zaman, keadaan dan tempat manapun.
Selanjutnya, metode ijtihad selain ijma’ adalah Qias. Menurut loghat (etimologis) berasal dari kata qaasa yang artinya mengukur atau menimbang.
Menurut fiqih berarti, menetapkan hukum atas sesuatu kasus ( hal atau peristiwa) baru sesuai dengan hukum yang di tetapkan qur’an atau sunnah ( atas kasus yang terdapat di dalamnya) bila dapat di tunjukkan adanya hubungan ( illat) antara hal/ peristiwa yang baru yang dengan yang terdapat dalam qur’an atau sunnah ( ashal) itu.
Sebagai alat untuk menemukan hukum syari’at terhadap segala hal yang baru dengan membandingkan kepada hal-hal yang telah terdapat hukumnya di dalam qur’an dan sunnah , dengan mencari adanya landasan untuk membandingkanya. Maka, qias yang syah itu harus memenuhi 4 syarat:
1. adanya ashal (pokok) ialah hal (kasus) yang hukumnya jelas di berikan qur’an dan atau sunnah
2. adanya fara (cabang) ialah hal (kasus) baru yang terhadapnya belum ada hukum penilaian syari’at.
3. adanya illat ( landasan penghubung) ialah sesuatu yang dapat menghubungkan / membandingkan antara fara dan ashal.
4. hukum (penilaian syari’at) terhadap ashal di terapkan pada yang fara.

Berikut ini beberapa dalil yang menjadi Landasan pembenar (justification) diperlukannya qias adalah:
a. Ayat-ayat qur’an yang mendorong agar manusia menggunakan akal fikirannya seperti surah Al-baqoroh ayat 39 , “ fa’tabiru ya ulil albab”.
b. Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 59; yang Artinya:
“ wahai orang-orang beriman ikutolah Allah dan ikutilah rosul-Nya dan ulil amrimu ( pemimpin yang berwenang) , sekiranya terdapat perbedaan pendapat di antara kamu maka kembalikanlah pada Allah dan rasul-Nya” (QS: An-Nisa’ ayat 59)
Mengembalikan sesuatu kepada Allah dan rosul berarti menggunakan qur’an dan sunnah yaitu dengan berijtihad, yang salah satu methodenya ialah qias.
c. Hadist yang sahih yang terdapat juga dalam shahih muslim yang meriwayatkan, bahwa sesuatu ketika nabi Muhammad SAW mengutis salah seorang sahabatnya bernama muadh bin jabbai ke Arabia selatan ( yaman) .
Ketiks muadh menerima amanat dari nabi, nabi bertanya:
Nabi : dengan apakah kamu menghukum sesuatu perkara yang kamu hadapi di daerah itu?
Muadh : dengan kitabullah (Alqur’an )
Nabi : bagaimana kalau hal itu tidak terdapat dalam al-qur’an?
Muadh : saya menggunakan sunnah nabiku
Nabi : bagaimana kalau juga tidak terdapat dalam sunnah ku?
Muadh : lalu akan aku gunakan pikiranku (berasaskan qur’an dan sunnah)
Nabi : alangkah bangganya aku mempunayai sahabat seperti muadh ini.
Demikian hadist ini di gunakan sebagai landasan pembenar dari ijtihad pada umunya dan qias pada khususnya., hal mana ssuai pula pada hadist lain yang menyatakan bahwa “ al dinu aklun ladina liman la akla lah” : “ agama itu akal tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”.
d. Konsekwensi dari pada watak agama islam bersifat universal ialah bahwa islam dapat memecahkan masalah-masalah sosial dan bila manapun juga. Sedangkan qur’an dan sunnah tidak memberikan ketentuan-ketentuan yang difinitif dan terperinci. Tetapi membuat azas-azas yang umum , sehingga apabila islam dapat tetap berlaku universal, maka akal manusia yang di hargainya itu harus digunakan dalam bidang ijtihad.
Demikian pelacakan hukum melalui ijtihad yang di Syaratkan, Baik melalui ijma’ maupun Qias mensyaratkan prosedur yang baku, hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam pencarian hukum untuk diterapkan pada peristiwa kemasyarakatan yang terjadi. Oleh karena itu, ditawarkan modus penyangga sebagai solusi untuk pencarian hukum yang tidak terlalu baku dan mengikat, dari Imam Hanafi Ditawarkan Istihsan dan dari Imam Maliki ditawarkan al-mashlahah al-mursalah. Kedua modus penyangga tersebut tidak memiliki perbedaan yang terlalu prinsipil.
Dalam al-mashlahat al-mursalat terdapat semangat beragama Mayoritas ahli fiqh menerima metode al-mashlahat al-mursalah. Namun, mereka memberikan beberapa syarat untuk pemberlakuannya. Imam Malik sendiri menyatakan beberapa syarat untuk metode yang ia tawarkan, yakni :
a) Maslahah tersebut bersifat Reasonable (ma’qul) dan relevan dengan kasus hukum yang di tetapkann.
b) Mashlahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang darurat dan menghilangkan kesulitan dengan cara menghilangkan masyaqqat dan mudharat.
c) Mashlahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyari’atkan hukum dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Sementara itu Al-ghazali menetapkan beberapa untuk al-mashlahat al-mursalat, yaitu :
 Kemashlahatan tersebut harus termasuk kategori peringkat darurat. Artinya, untuk menetapkan suatu kemashlahatan tingkat keperluannya harus diperhatikan, jangan samapi mengancam eksistensi lima unsure pokok maslahat.
 Kemashlahatan itu bersifat Qath’i. Artinya, kemaslahatan yang dituju harus benar-benar diyakini dan bukan atas dasar dugaan semata-mata.
 Kemaslahatn itu bersifat kulli. Artinya, kemashlahatan itu ditujukan pada masyarakat umum.
Dari penjelasan sederhan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan utama dari al-mashlahat al-mursalah antar lain adalah:
1. Memberi solusi yang lebih fleksible dan tidak kaku dalam pencarian hukum demi menjawab pertanyaan hukum kemasyarakatan.
2. Mencari pemecahan masalah dengan lebih mudah, cepat dan diyakini mashlahatnya..
3. Menjawab pertanyaan hukum sekaligus mengisi kekosongan hukum dengan dasar kemashlahatan umum.


Kedudukan al-mashlahat al-mursalah dalam tatanan hukum islam

Al-mashlahat al-mursalah merupakan salah satu sumber hukum islam yang diakui oleh kaum muslimin dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan diatas. Untuk mengetahui kedudukannya dalam tatanan hukum islam, maka harus dilihat urutan sumber hukum yang diberikan oleh Imam Malik sebagai pencetus metode ini. Menurut Imam Malik Urutan sumber hukum islam adalh sebagai berikut :
i. Al-qur’an
ii. Sunnah
iii. Ijma’ Ulama
iv. Qias
v. Al-mashlahah al-mursalah


Al-mashlahat al-mursalah dalam kehidupan sehari-hari

Berikut contoh-contoh al-mashlahat al-mursalat dalam kehidupan sehari-hari:
 Dibolehkannya wudhu tidak berurutan jika airnya terbatas. Hal tersebut oleh Imam Malik diperbolehkan jika air yang digunakan terbatas, apabila seseorang berwudhu dengan kondisi keterbatasan air ia diperbolehkan mencuci muka, tangan atau kakinya ditempat yang berbeda.
 Diperbolehkannya makan ditempat shohibul musibah, terdapat beberapa perbedaan disini, ada madzhab yang melarang memakan makanan dirumah shohibul musibah. Namun, ada madzhab yang membolehkan makan dirumah shohibul musibah dengan alasan kemashlahatan, bahwa makanan yang memang diberikan oleh shohibul musibah adalah bentuk penghormatan mereka pada tamu yang datang berta’ziah, penolakan dalam bentuk tidak memakan makanan yang mereka berikan adalah wujud ketidak perdulian kepada niat dan perasaan shohibul musibah. Ada beberapa alasan yang menguatkan hal tersebut; pertama, kita tidak boleh memfatwakan haram makann yang halal. Kedua, Fatwa pelarangan tersebut membentuk opini dalam masyarakat, sehingga mereka tidak pernah mau makan ditempat shohibul musibah walaupun sudah dijamu (dipersilahkan), padahal semua itu tidak benar.
 Mengenai Talaq, dianggapnya talaq tiga sekaligus atau talaq tiga yang diucapkan pada satu waktu sebagai “talaq tiga”, walaupun ada madzhab yang menyatakan bahwa talaq tiga dalam satu waktu atau sekaligus dianggap sebagi talaq satu. Alasan dianggapnya talaq tersebut sebagai talaq tiga adalah agar masyarakat (suami) lebih berhati-hati dalam mentalaq istrinya.
 Diperbolehkannya menikahi wanita Hamil. Untuk kasus ini, yang menikahi wanita hamil tersebut adalah laki-laki yang menghamilinya (untuk kasus hamil diluar nikah), hal ini diperbolehkan karena beberapa alasan. Pertama, untuk menolong si perempuan dan keluarganya dari aib yang kemungkinan besar akan menghinakan keluarnya hingga waktu yang tidak terbatas. Kedua, untuk meredam kemungkinan pandangan masyarakat mengenai hamil diluar nikah, dengan adanya hamil diluar nikah yang tidak tercover pada masyarakat akan menipiskan moral dan rasa malu dalam masyarakat.
 Diperbolehkannya mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dalam keadaan darurat , dimana jika tidak dikonsumsi akan menimbulkan kematian. Untuk pengecualian ini memiliki syarat dan batasan, artinya darurat tersebut benar-benar tidak dapat ditawar, serta mashlahat yang didapat harus pasti lebih banyak dari mudharatnya. Mengenai hal ini, dikuatkan oleh kaidah Fiqh:

“Keadaan terpaksa menjadikan apa yang semula dilarang dibolehkan”
 Diperbolehkannya bekerjasama, menjalin hubungan kepercayaan dan hubungan baik serta saling membantu terhadap orang kafir dengan tujuan kebagikan secara umum, artinya dapat memberi manfaat bagi banyak kalangan . Hal ini juga merupaka upaya untuk menjaga keseimbangan social dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia.

Wallahua'alam Bisshowaab...